Putusan MK soal sengketa pemilu kada Kotawaringin Barat berujung pada kasus hukum. Sudah saatnya MK memiliki lembaga pengawas khusus.
Nurulia Juwita
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dinilai telah mengambil alih wewenang peradilan umum. Pasalnya dalam memutus perkara sengketa pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada), MK menjadikan politik uang dan intimidasi sebagai acuan putusan. Padahal, pengakuan saksi seharusnya tidak dapat menjadi barang bukti.
Hal itu terjadi pada kasus sengketa pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Beberapa saksi dilaporkan ke Mabes Polri karena diduga memberikan keterangan palsu (Media Indonesia, 17/7). Karena itu, putusan MK tersebut berpeluang diuji lagi ke Mahkamah Agung (MA). Pendapat itu dikemukakan Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti kepada Media Indonesiadi Jakarta, kemarin.
"Pengakuan saksi yang dengar-dengar, apakah itu fakta hukum? Mengherankan kalau karena dengar lalu dapat menjadi alat bukti. MK jadi ikut menentukan pidana," cetusnya.
Dalam kasus itu, ia juga menilai MK banyak menerabas aturan demi mengejar tenggat proses persidangan yang disyaratkan undang-undang (UU) selama 14 hari kerja. Di antaranya dengan tidak memeriksa silang dugaan politik uang dalam sengketa yang ditanganinya.
Untuk itu, menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kotawaringin Barat berpeluang menguji ketetapan penambahan kewenangan MK ke Mahkamah Agung. "Disarankan KPUD meminta fatwa ke MA. Putusan MK yang kemarin menjadi dasarnya, bisa tidak MK melakukan diskualifikasi calon. Karena itu tidak diatur dalam UU," tukas Ray.
Menurutnya, dalam kasus Kotawaringin Barat, MK cukup memutuspemungutan suara ulang bagi dua pasang kandidat yang ada. "Itu yang paling adil."
Namun yang terjadi, imbas putusan MKyang mendiskualifikasi salah satu kandidat itu malah menimbulkan problem baru bagi KPUD setempat karena sudah menetapkan pemenang. Ray menilai MK telah jauh melipatgandakan kewenangannya sendiri dan jika terus dibiarkan, akan berdampak terhadap sistem pemilu.
Ada Bawaslu
Saat menanggapi kasus ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar menilai yangberhak memutus terjadinya politik uang dalam sengketa pemilu kada adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan kepolisian.
Adapun MK, timpalnya, hanya berwenang memutus hasil pemilu kada. "Secara konstitusi, hanya hasil saja. Padahal, dia (MK) hanya bicara hasil. Hanya angka saja. Kalau persoalan inoney politics, itu bukan persoalan MK. Sudah ada KPU dan Bawaslu. Kalau pidana, sudah ada pidana umum. Ini sudah dibagi kok," paparnya dalam kunjungan kerja di Padang, Sumatra Barat, kemarin.
Atas kasus ini, menurutnya, sudah saatnya MK memiliki lembaga pengawas khusus. "Harus kembali mengevaluasi dirinya masing-masing. Jangan melulu minta tambahan kewenangan," ucap mantan anggota Komisi III DPR ini.
Saat ini pemerintah berniat untuk kembali menyelipkan fungsi pengawasan hakim konstitusi ini dalam revisi UU Komisi Yudisial (KY) dan UU MK. "Kalau bisa sampai menilai putusan. Nanti ada yang lebih tinggi dari kehakiman," tandasnya. (CC/P-4)nurulia@mediaindonesia.com
Sumber : http://bataviase.co.id/node/299769
Tidak ada komentar:
Posting Komentar