PUTUSAN mengejutkan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada sengketa pemilu kada di Kotawaringin Barat (Kobar), suka atau tidak suka, telah menggeser perdebatan terkait dengan kasus tersebut kepada persoalan yang lebih substansial, yakni sampai sejauh mana sebetulnya kewenangan MK dalam penyelesaian perkara hasil pemilihan umum (PHPU).
Dalam sengketa pemilu kada di Kobar, MK akhirnya mendiskualifikasi pasangan Sugianto dan Eko Soemarno. Padahal, pasangan nomor urut 1 ini telah memenangi pemilu. MK kemudian melangkah lebih jauh dengan menetapkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto yang kalah, sebagai pemenang. Salah satu poin yang menjadi alasan mahkamah, pasangan Sugianto-Eko Soemarno telah melakukan politik uang yang masif.
Alasan atau dasar putusan MK inilah yang sebenarnya memicu perdebatan baru. Pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan, bila mengikuti proses yang benar sesuai undang-undang, mestinya mahkamah tidak sampai menyelesaikan dugaan politik uang. Pendek kata, sejatinya MK telah memperluas kewenangannya sendiri.
Menurut Mudzakir, mahkamah dapat memutus demikian jika memiliki putusan pengadilan sebagai dasar. "Kalau proses itu tidak ada, hanya berdasarkan komplain dari yang kalah dan diputus pelanggaran, tidak bisa. Ini penilaian sepihak karena dia kalah," tegas Mudzakir.
Begitu juga menurut mantan anggota Komisi 111 DPR periode 2004-2009 Ferry Mursyidan Baldan. Ia menyebut tidak semua sengketa pemilu berhak ditangani MK. DPR, kata dia, membatasi kewenangan pemutusan perkara hanya berdasarkan hasil akhir yang memengaruhi posisi seseorang.
"Jika sekarang masalah politik uang atau pidana pemilu terseret masuk, MK harus menegaskan kembali komitmen awal mereka apa yang berhak dimasukkan di dalam persidangan di MK," tegasnya, Jumat (16/7).
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan bahkan menyatakan tugas MK, seperti halnya pengalamannya dulu di MA dalam menangani sengketa pemilu, hanya menilai apakah penghitungan suara benar atau tidak. "Jadi dilihat hasilnya benar atau tidak benar. Begitu saja," katanya.jika sudah masuk persoalan money politics, menurutnya itu sudah ranah pidana dan mestinya diselesaikan di tempat lain. "Karena itu di MA dulu tidak kita persoalkan ada money politics atau tidak," ujar Bagir.
Di pihak lain, MK tetap berpendirian bahwa mereka berwenang untuk memutus semua hal terkait dengan perkara hasil pemilu. Persepsi ini, menurut Harjono, salah satu hakim konstitusi, bukan hanya diatur oleh UU, melainkan juga muncul dari kepercayaan masyarakat.
"Mulai dari kasus Jawa Timur, Bengkulu, masyarakat memerkarakan ini (praktik politik uang) ke MK. Jadi mereka kan juga menganggap MK berwenang," tuturnya kepada Media Indonesia, Jumat (16/7).
MK, kata Harjono, hanya berusaha untuk mengembalikan proses tersebut sesuai landasan hukumnya. Dengan kata lain, semua amar putusan MK dalam persoalan PHPU tak lain adalah sebagai upaya mengembalikan pemilu kepada hukum yang melandasinya, yaitu UUD 1945.
Harjono pun tak ambil pusing dengan pendapat dari beberapa kalangan yang menganggap MK telah menggunakan kekuasaannya secara eksesif. Menurutnya, MK adalah lembaga peradilan yang akanselalu berada setingkat di atas pihak-pihak yang bersengketa.
Pilihan terbaik
Perdebatan soal ini pun akhirnya mulai mengarah ke isu apakah perlu kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu diserahkan kembali ke MA seperti dulu.
Menurut sejarahnya dulu, wewenang ini awalnya memang ada di Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Selain itu di dalam UU Pokok-Pokok daerah dan Pemilu kala itu, perselisihan pemilu diserahkan ke MA, dengan beberapa kasus diselesaikan di pengadilan tinggi.
Menurut cerita Bagir Manan, kewenangan itu akhirnya berpindah ke MK atas permintaan pimpinan MK. "Alasan kami setuju praktis saja, kan perkara yang ada di MA banyak sekali dan beraneka macam, maka kita anggap itu cara mengurangi perkara di MA," ka-tanva. (Din/Tup/ NJ/VS-3)
Sumber : http://bataviase.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar