Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Sakaludin Desa Kumai Hilir Seberang Kecamatan Kumai Masih mengeluhkan belum maksimalnya ketersediaan sarana teknologi pertanian. Imbasnya warga trans tersebut tidak bisa memanfaatkan lahan secara maksimal. Dan mereka masih bergantung pada jatah hidup (jadup) yang dialokasikan Pemkab Kobar.
Syairani, Pendamping Program Pemberdayaan Masyarakat di bidang Pengembangan Usaha Mikro di Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Kobar mengatakan dari 200 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 791 orang dengan mendapatkan masing-masing dua hektar per KK, yang terdiri dari lahan usaha satu dan lahan pekarangan, serta lahan usaha dua, hingga kini baru LU1 dan lahan pekarangan yang baru dimanfaatkan sedangkan LU2 belum tergarap sama sekali.
Ini juga dikarenakan masih terbatasnya alat pertanian dan terkepung dengan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) Kumai. Bahkan dengan tingkat keasaman (PH) lahan yang tinggi hingga mencapai 4,5. Lahan tersebut hanya berpotensi pada tanaman pangan saja seperti jagung, dan kacang-kacangan.
Warga transmigran yang berasal dari 50 persen warga lokal Kumai dan 50 persen dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan Kabupaten Lampung Selatan itu, sudah menempati daerah ini sejak 2008 dan 2009, yang kemungkinan besar akan datang kembali di tahun 2010 dengan jumlah 75 KK.
Kehadirannya di UPT Sakaladin ini, baru bisa menghasilkan untuk kepentingan rumah tangganya dengan menggarap LU1 dan pekarangan dengan menanam singkong dan pisang. Sementara tingkat pendapatan masyarakat masih minim berkisar antara Rp 500 – Rp 700 ribu perbulannya dan itupun masih ditanggung jadup yang masih tersisa untuk 75 KK. (Sumber: Radar Sampit 19 Juni 2010)
Senin, 21 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar