Sistem pelapisan sosial
stratifikasi masyarakat masa Hindia Belannda adalah secara umum
masyarakat telah terbelah menjadi dua, yaitu golongabn penjajah atau
penguasa, dan golongan terjajah atau rakyat. Pemisahan ini berdampak
pada hak dan kewajiban dan masing-masing golongan tersebut dalam
kolonial yang bersifat diskriminatif.
Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang imigran asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota, melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa.
Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu:
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas:
1) Orang-orang Belanda dan keturunannya
2) Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lain-lain.
3) Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.
b. Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India, Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.
c. Golongan Bumi Putra yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut inlander. (Arif Rohman dkk : 2002 : 15 )
J.H. Boeke dalam Arif Rohman dkk (2002 : 15) menggambarkan tipe masyarakat saat kolonial Hindia Belanda dalam bentuk piramida sebagai berikut:
Keterangan :
= Puncak kecil berorientasi sangat kebarat-baratan. Golongan ini adalah kulit putih dan pegawai perkebunan.
= Massa / rakyat, yang kurang pendidikan dan orientasinya sangat tradisional.
Piramida tersebut melukiskan adanya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara golongan kulit putih (Belanda) dengan masyarakat pribumi (inlander). Bagian puncaknya yang kecil menggambarkan orang kulit putih beserta para pegawainya yang keseluruhannya hanya berjumlah sedikit. Sedangkan bagian bawah melukiskan masyarakat pribumi yang walaupun jumlahnya banyak tetapi sangat memprihatinkan kondisinya dalam berbagai hal.
J.S. Furnivall dalam Arif Rohman dkk (2002 : 16) juga menggambarkan pelapisan masyarakat dalam bentuk piramida, namun lebih terlihat majemuk sebagai berikut:
Keterangan :
= Lapisan atas, orang putih, Belanda yang bekerja di perkebunan dan pemerintahan, berorientasi kepada budaya Barat.
= Masa penduduk yang terdiri atas :
a. Lapisan menengah, kelompok keturunan Asia atau Timur Asing, khususnya Cina yang menguasai perdagangan.
b. Lapisan menengah bawah, kaum priyayi, dan pamong praja
c. Lapisan bawah, yaitu rakyat atau penduduk pribumi.
Politik devide et impera pemerintah Hindia Belanda dilakukan dengan cara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, pemerintah Hindia Belanda membenturkan perbedaan karakteristik antar daerah di Indonesia. Sedangkan secara vertikal adalah dengan batasan dan tingkatan yang tegas berdasarkan ras dan warna kulit. Dengan demikian, sistem pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda dibentuk atas dasar kelompok-kelompok ras dan warna kulitnya. Semakin gelap warna kulitnya akan semakin kebawah lapisan sosial seseorang demikian sebaliknya. Sistem ini disebut ideologi kolonialisme karena dirancang dan ditanamkan kedalam pemahaman anggota masyarakat.
Adanya deskriminasi dalam kedudukan dan warna kulit, maka aktivitas masyarakat pribumi lebih banyak merupakan arus bawah karena dibawah masyarakat kolonial. Hindia Belanda menekan segala pemikiran dan pengaruh arus bawah supaya jangan muncul ke permukaan, dengan mempertahankan tegaknya peraturan kolonial yang melarang semua kegiatan yang berbau politik. Namun pemimpin-pemimpin tradisional lokal masyarakat Kalimatan Tengah pada umumnya, mampu memanfaat sarana yang ada pada waktu itu untuk membentuk wadah persatuan yang merupakan organisasi-organisasi seperti syariat Islam dan syarikat Dayak.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu sangat ketat memberi izin keluar daerah Kalimantan, karena sangat ditakuti oleh Pemerintah Hindia Belanda, berpengaruhnya jiwa nasionalisme yang pada waktu itu sedang tumbuh pesat di pulau jawa (awal abad 20). Pemerintah Hindia Belanda lebih sering mengizinkan pemuda-pemuda dari masyarakat Kalimantan Tengah untuk bersekolah di Sulawesi dari pada ke pulau Jawa. Oleh karena itu, banyak pemuda-pemuda Kalimantan Tengah memperoleh kesempatan belajar di Makasar untuk menjadi pegawai Pamong Praja. (Dep.P & K : 1978 : 26).
Adanya garis pemisah antara dua masyarakat, yang sengaja diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu masyarakat kolonial dan masyarakat tradisional-lokal, serta sikap pemerintah Hindia Belanda yang membedakan sangat menyolok gaji pegawai pribumi dengan orang-orang Hindia Belanda sendiri, serta fasilitas – fasilitas yang lebih baik seperti perumahan dan liburan.
Pengurangan peranan pemimpin tradisional lokal serta yang diskriminatif dalam tata pergaulan dan kepangkatan terhadap kaum intelek pribumi serta pungutan pajak terhadap anggota masyarakat di Pangkalan Bun khususnya dan di Kalimantan Tengah pada umumnya cukup memberi kegelisahan sosial. Pemerintahan Hindia Belanda dalam menghadapi kegelisahan sosial didaerah Kalimantan Tengah mengeluarkan peraturan RR. III (Regering Reglement S. 1855 nomor 2) yang berisi bahwa ”Perkumpulan-perkumpulan dan rapat-rapat yang bersifat politik atau yang dapat mengancam ketentraman umum dilarang di Hindia Belanda, terhadap pelanggaran larangan ini akan diambil tindakan sesuai keadaan.” (Dep. P& K : 1978 : 27).
Dengan adanya peraturan dari pemerintah Hindia Belanda ini maka sukarlah bagi rakyat di Kalimantan Tengah untuk mendirikan suatu perkumpulan yang bersifat politik. Untuk menghindari kesulitan meminta ijin mengadakan rapat pembentukan suatu organisasi, maka diusahakan agar tampilan organisasi tersebut menitikberatkan kepada bidang keagamaan, usaha sosial atau kemanusiaan.
Dampak yang lain adalah pembubaran Syarikat Islam di Pangkalan Bun, karena sejak berdiri tahun 1914 organisasi ini menjalankan paham politiknya berdasarkan ajaran Islam, dalam waktu relatif singkat telah mendapat simpati yang banyak dari umat Islam yang mayoritas di Pangkalan Bun. Tetapi pada awal tahun 1940 berdirilah BAPERIS (Badan Perguruan Islam) yang dicetuskan oleh Pangeran Adipati Mangku Negara sebagai Mangku Bumi kerajaan Kotawaringin, bersama haji Abdussyukur, seorang saudagar di Kumai (Bappeda: 2004: 24).
Di kalangan masyarakat Dayak yang beragama Kristen berdiri syarikat dayak tahun 1919, karena organisasi ini tidak bergerak dibidang politik pada awalnya maka pihak Hindia Belannda tidak membubarkan organisasi ini. Namun dalam perkembangannya syarikat Dayak berubah menjadi Pukat Dayak yang kemudian berubah menjadi Partai Dayak. Hal ini membuat Pemerintah Hindia Belanda curiga, akibatnya untuk mengurangi kekuatannya pemerintah Hindia Belanda memisah-misahkan pimpinannya dan dengan berbagai dalih serta ancaman, membuat organisasi berkurang aktivitasnya sejak 1926.
Janji dari Gubernur Jenderal Mr. J.P Graff van Limburg Stirum tentang perluasan hak-hak bagi pribumi dalam mengatur dirinya sendiri, ternyata di Kalimantan Tengah tidak pernah pemerintah Hindia Belanda menyiapkan sesuatu ke arah maksud tertentu. Ucapan tersebut hanya basa-basi untuk menenangkan pemerintah saja. Melalui guru-guru yang pada mulanya putra daerah sendiri, yang kemudian memperoleh simpati dari guru Taman Siswa di Pulau Jawa. Guru-guru menumbuhkan rasa kebangsaan di hati para murid, walaupun sangat berbahaya jika diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Bentuk pemisahan dalam bentuk pendidikan pada masa pemerintah Hindia Belanda adalah untuk rakyat biasa sebagai pribumi didirikan sekolah rakyat tiga tahun (Volkschool) yang hanya sekedar belajar menulis, membaca dan berhitung. Kemudian dilanjutkan ke Vervolgschool selama dua tahun. Untuk kampung yang banyak penduduknya kedua sekolah ini digabung menjadi Vervolgscool juga. Di Pangkalan Bun letak kedua sekolah tersebut dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku Syahrial adalah terletak di sekitar kawasan RSUD Sultan Imanuddin serta di SDN Raja-raja sekarang. Karena Banjarmasin merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan Selatan dan Tengah maka untuk anak-anak Cina diperkenankan pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah rakyat Cina. Disamping itu juga berdiri Holtansdch Inlandsche School (HIS), hanya orang pribumi tertentu yang boleh masuk bersekolah disini. Seleksi ketat tersebut melihat kemungkinan murid belajar bahasa Belanda, kemampuan orangtua membayar sekolah dan kedudukan orang tua murid, sehingga sekolah ini disebut ”Sekolah Belanda”, walaupun ada sekolah khusus anak-anak orang Belanda yaitu Europsche Legere School (ELS).
Dari uraian diatas dapat dilihat perbedaan warna kulit dalam pendidikan pun dibedakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Praktek yang dijalankan tidak memberi jalan ke pribumi untuk berkembang lebih cepat dalam pendidikan, karena kalau ingin meneruskan pendidikan diatas sekolah Dasar Pemuda Pangkalan Bun harus keluar daerah.
Golongan pertama tinggal di pusat-pusat kota dan berhak mendapatkan fasilitas lebih dalam hal ekonomi, hukum, kesehatan, serta pendidikan. Sedangkan golongan kedua hanya tinggal di kampung-kampung dengan fasilitas yang sangat sederhana. Di dalam golongan pertama ini terdapat para pejabat tinggi, tentara, pegawai-pegawai Belanda dan orang-orang imigran asing, mereka semua dianggap sebagai warga kota. Sedangkan orang-orang pribumi dianggap sebagai orang asing yang tidak boleh tinggal dipusat kota, melainkan harus tinggal di pinggir kota dan di desa.
Dalam kenyataannya, pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda sebenarnya sangat berlapis-lapis. Seperti dalam peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927, lapisan sosial masyarakat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu:
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan, golongan ini terdiri atas:
1) Orang-orang Belanda dan keturunannya
2) Orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis Portugis, dan lain-lain.
3) Orang-orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa atau telah diakui sebagai golongan Eropa.
b. Golongan Timur Asing, didalamnya adalah orang Cina, Arab, India, Pakistan, serta orang-orang kawasan Asia lainnya.
c. Golongan Bumi Putra yaitu orang-orang yang asli Indonesia yang disebut inlander. (Arif Rohman dkk : 2002 : 15 )
J.H. Boeke dalam Arif Rohman dkk (2002 : 15) menggambarkan tipe masyarakat saat kolonial Hindia Belanda dalam bentuk piramida sebagai berikut:
Keterangan :
= Puncak kecil berorientasi sangat kebarat-baratan. Golongan ini adalah kulit putih dan pegawai perkebunan.
= Massa / rakyat, yang kurang pendidikan dan orientasinya sangat tradisional.
Piramida tersebut melukiskan adanya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara golongan kulit putih (Belanda) dengan masyarakat pribumi (inlander). Bagian puncaknya yang kecil menggambarkan orang kulit putih beserta para pegawainya yang keseluruhannya hanya berjumlah sedikit. Sedangkan bagian bawah melukiskan masyarakat pribumi yang walaupun jumlahnya banyak tetapi sangat memprihatinkan kondisinya dalam berbagai hal.
J.S. Furnivall dalam Arif Rohman dkk (2002 : 16) juga menggambarkan pelapisan masyarakat dalam bentuk piramida, namun lebih terlihat majemuk sebagai berikut:
Keterangan :
= Lapisan atas, orang putih, Belanda yang bekerja di perkebunan dan pemerintahan, berorientasi kepada budaya Barat.
= Masa penduduk yang terdiri atas :
a. Lapisan menengah, kelompok keturunan Asia atau Timur Asing, khususnya Cina yang menguasai perdagangan.
b. Lapisan menengah bawah, kaum priyayi, dan pamong praja
c. Lapisan bawah, yaitu rakyat atau penduduk pribumi.
Politik devide et impera pemerintah Hindia Belanda dilakukan dengan cara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, pemerintah Hindia Belanda membenturkan perbedaan karakteristik antar daerah di Indonesia. Sedangkan secara vertikal adalah dengan batasan dan tingkatan yang tegas berdasarkan ras dan warna kulit. Dengan demikian, sistem pelapisan sosial pada masa Hindia Belanda dibentuk atas dasar kelompok-kelompok ras dan warna kulitnya. Semakin gelap warna kulitnya akan semakin kebawah lapisan sosial seseorang demikian sebaliknya. Sistem ini disebut ideologi kolonialisme karena dirancang dan ditanamkan kedalam pemahaman anggota masyarakat.
Adanya deskriminasi dalam kedudukan dan warna kulit, maka aktivitas masyarakat pribumi lebih banyak merupakan arus bawah karena dibawah masyarakat kolonial. Hindia Belanda menekan segala pemikiran dan pengaruh arus bawah supaya jangan muncul ke permukaan, dengan mempertahankan tegaknya peraturan kolonial yang melarang semua kegiatan yang berbau politik. Namun pemimpin-pemimpin tradisional lokal masyarakat Kalimatan Tengah pada umumnya, mampu memanfaat sarana yang ada pada waktu itu untuk membentuk wadah persatuan yang merupakan organisasi-organisasi seperti syariat Islam dan syarikat Dayak.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu sangat ketat memberi izin keluar daerah Kalimantan, karena sangat ditakuti oleh Pemerintah Hindia Belanda, berpengaruhnya jiwa nasionalisme yang pada waktu itu sedang tumbuh pesat di pulau jawa (awal abad 20). Pemerintah Hindia Belanda lebih sering mengizinkan pemuda-pemuda dari masyarakat Kalimantan Tengah untuk bersekolah di Sulawesi dari pada ke pulau Jawa. Oleh karena itu, banyak pemuda-pemuda Kalimantan Tengah memperoleh kesempatan belajar di Makasar untuk menjadi pegawai Pamong Praja. (Dep.P & K : 1978 : 26).
Adanya garis pemisah antara dua masyarakat, yang sengaja diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu masyarakat kolonial dan masyarakat tradisional-lokal, serta sikap pemerintah Hindia Belanda yang membedakan sangat menyolok gaji pegawai pribumi dengan orang-orang Hindia Belanda sendiri, serta fasilitas – fasilitas yang lebih baik seperti perumahan dan liburan.
Pengurangan peranan pemimpin tradisional lokal serta yang diskriminatif dalam tata pergaulan dan kepangkatan terhadap kaum intelek pribumi serta pungutan pajak terhadap anggota masyarakat di Pangkalan Bun khususnya dan di Kalimantan Tengah pada umumnya cukup memberi kegelisahan sosial. Pemerintahan Hindia Belanda dalam menghadapi kegelisahan sosial didaerah Kalimantan Tengah mengeluarkan peraturan RR. III (Regering Reglement S. 1855 nomor 2) yang berisi bahwa ”Perkumpulan-perkumpulan dan rapat-rapat yang bersifat politik atau yang dapat mengancam ketentraman umum dilarang di Hindia Belanda, terhadap pelanggaran larangan ini akan diambil tindakan sesuai keadaan.” (Dep. P& K : 1978 : 27).
Dengan adanya peraturan dari pemerintah Hindia Belanda ini maka sukarlah bagi rakyat di Kalimantan Tengah untuk mendirikan suatu perkumpulan yang bersifat politik. Untuk menghindari kesulitan meminta ijin mengadakan rapat pembentukan suatu organisasi, maka diusahakan agar tampilan organisasi tersebut menitikberatkan kepada bidang keagamaan, usaha sosial atau kemanusiaan.
Dampak yang lain adalah pembubaran Syarikat Islam di Pangkalan Bun, karena sejak berdiri tahun 1914 organisasi ini menjalankan paham politiknya berdasarkan ajaran Islam, dalam waktu relatif singkat telah mendapat simpati yang banyak dari umat Islam yang mayoritas di Pangkalan Bun. Tetapi pada awal tahun 1940 berdirilah BAPERIS (Badan Perguruan Islam) yang dicetuskan oleh Pangeran Adipati Mangku Negara sebagai Mangku Bumi kerajaan Kotawaringin, bersama haji Abdussyukur, seorang saudagar di Kumai (Bappeda: 2004: 24).
Di kalangan masyarakat Dayak yang beragama Kristen berdiri syarikat dayak tahun 1919, karena organisasi ini tidak bergerak dibidang politik pada awalnya maka pihak Hindia Belannda tidak membubarkan organisasi ini. Namun dalam perkembangannya syarikat Dayak berubah menjadi Pukat Dayak yang kemudian berubah menjadi Partai Dayak. Hal ini membuat Pemerintah Hindia Belanda curiga, akibatnya untuk mengurangi kekuatannya pemerintah Hindia Belanda memisah-misahkan pimpinannya dan dengan berbagai dalih serta ancaman, membuat organisasi berkurang aktivitasnya sejak 1926.
Janji dari Gubernur Jenderal Mr. J.P Graff van Limburg Stirum tentang perluasan hak-hak bagi pribumi dalam mengatur dirinya sendiri, ternyata di Kalimantan Tengah tidak pernah pemerintah Hindia Belanda menyiapkan sesuatu ke arah maksud tertentu. Ucapan tersebut hanya basa-basi untuk menenangkan pemerintah saja. Melalui guru-guru yang pada mulanya putra daerah sendiri, yang kemudian memperoleh simpati dari guru Taman Siswa di Pulau Jawa. Guru-guru menumbuhkan rasa kebangsaan di hati para murid, walaupun sangat berbahaya jika diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Bentuk pemisahan dalam bentuk pendidikan pada masa pemerintah Hindia Belanda adalah untuk rakyat biasa sebagai pribumi didirikan sekolah rakyat tiga tahun (Volkschool) yang hanya sekedar belajar menulis, membaca dan berhitung. Kemudian dilanjutkan ke Vervolgschool selama dua tahun. Untuk kampung yang banyak penduduknya kedua sekolah ini digabung menjadi Vervolgscool juga. Di Pangkalan Bun letak kedua sekolah tersebut dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku Syahrial adalah terletak di sekitar kawasan RSUD Sultan Imanuddin serta di SDN Raja-raja sekarang. Karena Banjarmasin merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan Selatan dan Tengah maka untuk anak-anak Cina diperkenankan pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah rakyat Cina. Disamping itu juga berdiri Holtansdch Inlandsche School (HIS), hanya orang pribumi tertentu yang boleh masuk bersekolah disini. Seleksi ketat tersebut melihat kemungkinan murid belajar bahasa Belanda, kemampuan orangtua membayar sekolah dan kedudukan orang tua murid, sehingga sekolah ini disebut ”Sekolah Belanda”, walaupun ada sekolah khusus anak-anak orang Belanda yaitu Europsche Legere School (ELS).
Dari uraian diatas dapat dilihat perbedaan warna kulit dalam pendidikan pun dibedakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Praktek yang dijalankan tidak memberi jalan ke pribumi untuk berkembang lebih cepat dalam pendidikan, karena kalau ingin meneruskan pendidikan diatas sekolah Dasar Pemuda Pangkalan Bun harus keluar daerah.
Stratifikasi Sosial Masyarakat
Masa Pendudukan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang,
Jepang muncul sebagai warga negara kelas I. Kaum pribumi Indonesia naik
menjadi warga negara kelas II, sedangkan golongan Cina dan Indo Eropa
merosot menjadin kelas III (Dep. P & K : 1978: 94). Di Pangkalan Bun
pernyataan ini ada benarnya juga karena pada masa pendudukan Jepang di
Pangkalan Bun, mereka melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada
masyarakat pribumi dan berusaha mengambil hati masyarakat dengan
membagi-bagikan barang kebutuhan, saling mengajarkan bahasa dan bersikap
ramah terhadap masyarakat Pangkalan Bun.
Walaupun sebenarnya mereka ingin menduduki daerah Swapraja Kotawaringin secara halus. Pada awalnya memang berjalan mulus, pemerintahan pendudukan Jepang dapat meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah saudara tua yang akan membawa dan memberikan kemakmuran. Namun dalam perkembangannya mereka mulai menuntut bantuan rakyat seperti pembuatan pabrik-pabrik dan pembangunan bangunan-bangunan untuk kepentingan perang dengan menggunakan tenaga sukarela dari masyarakat, serta perintah pembuatan kebun-kebun untuk memperkuat sektor bahan makanan. Baru ketika berakhirnya perang pasifik yang membuat mereka frustasi sehingga sikap mereka menjadi brutal.
Pada waktu awal Jepang menduduki kotawaringin, mereka mengancam orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa, sehingga banyak orang Tionghoa yang menyembunyikan barang dagangannya dan menutup toko-tokonya. Namun kemudian setelah orang-orang Tionghoa tidak diapa-apakan, mereka mulai berani lagi untuk berdagang. Mengenai para bekas pegawai gubernemen yang sama mengungsi, mereka kemudian dipekerjakan kembali oleh Jepang namun pemerintahan pendudukan Jepang juga tidak segan-segan membunuh orang-orang yang dicurigai masih serta kepada pemerintah Hindia Belanda.
Mengenai kedudukan Sultan pada saat itu, pemerintahan pendudukan Jepang tidak membedakannya secara khusus, Sultan harus menaati semua peraturan yang dibuat oleh mereka sama seperti masyarakat lainnya. Contohnya adalah setiap orang yang melalui pos penjagaan harus memberi hormat, tidak terkecuali sultan.
Ketika Jepang menyerah kepada sekutu, di Kotawaringin tentara pendudukan Jepang mencoba berkuasa dengan merebut semua radio milik penduduk. Tindakan ini agar penduduk tidak mendengar berita kekalahan mereka. Baru pada tanggal 18 September 1945 pimpinan mereka T. Iri ditangkap oleh NICA di Kumai dan seorang pimpinan tentara Pendudukan Jepang berpangkat Taicho melakukan bunuh diri, pemerintahan pendudukan Jepang berakhir di Pangkalan Bun.
Walaupun sebenarnya mereka ingin menduduki daerah Swapraja Kotawaringin secara halus. Pada awalnya memang berjalan mulus, pemerintahan pendudukan Jepang dapat meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah saudara tua yang akan membawa dan memberikan kemakmuran. Namun dalam perkembangannya mereka mulai menuntut bantuan rakyat seperti pembuatan pabrik-pabrik dan pembangunan bangunan-bangunan untuk kepentingan perang dengan menggunakan tenaga sukarela dari masyarakat, serta perintah pembuatan kebun-kebun untuk memperkuat sektor bahan makanan. Baru ketika berakhirnya perang pasifik yang membuat mereka frustasi sehingga sikap mereka menjadi brutal.
Pada waktu awal Jepang menduduki kotawaringin, mereka mengancam orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa, sehingga banyak orang Tionghoa yang menyembunyikan barang dagangannya dan menutup toko-tokonya. Namun kemudian setelah orang-orang Tionghoa tidak diapa-apakan, mereka mulai berani lagi untuk berdagang. Mengenai para bekas pegawai gubernemen yang sama mengungsi, mereka kemudian dipekerjakan kembali oleh Jepang namun pemerintahan pendudukan Jepang juga tidak segan-segan membunuh orang-orang yang dicurigai masih serta kepada pemerintah Hindia Belanda.
Mengenai kedudukan Sultan pada saat itu, pemerintahan pendudukan Jepang tidak membedakannya secara khusus, Sultan harus menaati semua peraturan yang dibuat oleh mereka sama seperti masyarakat lainnya. Contohnya adalah setiap orang yang melalui pos penjagaan harus memberi hormat, tidak terkecuali sultan.
Ketika Jepang menyerah kepada sekutu, di Kotawaringin tentara pendudukan Jepang mencoba berkuasa dengan merebut semua radio milik penduduk. Tindakan ini agar penduduk tidak mendengar berita kekalahan mereka. Baru pada tanggal 18 September 1945 pimpinan mereka T. Iri ditangkap oleh NICA di Kumai dan seorang pimpinan tentara Pendudukan Jepang berpangkat Taicho melakukan bunuh diri, pemerintahan pendudukan Jepang berakhir di Pangkalan Bun.
Stratifikasi Sosial Masyarakat
Masa Kewedanaan
Terbentuk stratifikasi
masyarakat pada masa itu dapat dilihat dari dua segi yaitu stratifikasi
yang berdasarkan kepegawaian dan kepangkatan sebagai pengaruh
kolonialisme, dan stratifikasi yang berdasarkan kebangsawanan seseorang.
Kedua stratifikasi ini terjadi pada masa transisi pemerintahan dari
kerajaan yang ada mulanya dipimpin oleh Sultan, menjadi pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang Wedana atau pegawai pemerintah.
Pada stratifikasi yang berdasarkan kepegawaian dan kepangkatan sebagai pengaruh kolonialisme, pada mulanya diawali sejak diberlakukannya politik etis karena diperlukannya pegawai-pegawai yang terampil dibidang-bidang masing. Pengangkatan pegawai-pegawai ini melahirkan lapisan sosial baru dimasyarakat yaitu lapisan masyarakat priyayi.
Bagi masyakarakat pribumi yang diangkat dan masuk kedalam lapisan priyayi selanjutnya mendapat hak-hak yang istimewa. Hak-hak ini berbeda dengan penduduk lain yang tidak menjadi pegawai. Atas dasar perbedaan tersebut, dikalangan pegawai terbagi kedalam lapisan-lapisan berdasarkan alasan kepangkatan, yaitu: (Arif Rohman dkk : 2002: 17).
a. Golongan pegawai tinggi sebagai lapisan teratas.
b. Golongan pegawai menengah sebagai lapisan menengah
c. Golongan pegawai rendah sebagai lapisan terbawah.
Sampai sekarang pelapisan sosial berdasarkan kepegawaian dan kepangkatan masih hidup dan diakui dimasyarakat.
Stratifikasi yang kedua adalah stratifikasi yang berdasarkan kebangsawanan seseorang. Pelapisan sosial ini merupakan pengaruh dari sistem kerjaaan yang pernah ada di Pangkalan Bun. Pada masa kerajaan sendiri, pemerintahan yang tertinggi ditangan seorang raja atau sultan. Raja dibantu beberapa orang Menteri, dan Menteri itu adalah antara lain:
a. Mangku Bumi, ialah orang kedua dari raja, dapat mewakili dan memangku jadi raja jika raja yang baru belum dinobatkan karena putera Mahkota masih dibawah umur.
b. Mantri Papalu, ialah orang yang langsung melaksanakan instruksi dalam pelaksanaan pemerintahan.
c. Mantri Tanda, ialah orang yang mengurusi bidang keamanan dan ketertiban, serta menjadi penegak dan penuntut hukum (jaksa).
d. Mantri Bendahara, ialah orang yang mengurus kekayaan kerajaan.
e. Mantri perseban, ialah orang yang mengurus upacara, sidang/rapat, musyawarah dan segala upacara di Balai Perseban atau Pendopo.
f. Mantri dalam, ialah orang yang mengurus urusan didalam istanan selaku pembantu pribadi raja.
g. Raja Muda, ialah calon raja dari putra mahkota. (Lontaan dan Sanusi : 1976 : 130)
Menurut H. Tengku Syahrial (wawancara, Rabu, 11 November 2007) maka penulis dapat menggambarkan stratifikasi yang berdasarkan kebangsawanan adalah sebagai berikut:
a. Golongan bangsawan, golongan ini terdiri dari para keturunan Sultan dari Putra mahkota hingga para Gusti Utin dan Tengku sebagai orang yang masih mengalir darah bangsawan didirinya.
Di dalam golongan ini terbagi lagi menjadi tiga yaitu: Lapisan tertinggi, bangsawan dari kerabat raja yang terdekat, lapisan menengah, bangsawan dari kerabat raja yang terdekat, lapisan terendah, bangsawan yang hubungannya lebih jauh dari yang pertama.
b. Golongan Jaba, golongan ini adalah golongan yang setengah bangsawan. Golongan ini adalah anak dari perkawinan antara golongan bangsawan dengan rakyat biasa. Misalnya Gusti atau Utin menikah dengan orang biasa. Hasil perkawinan ini mendapat gelar ”Mas’ bukan Gusti atau Utin. Jika salah seorang Utin menikah dengan Tengku maka setiap anak hasil pernikahan mereka tetap berada di golongan pertama dengan gelar Tengku. Gelar Tengku di Pangkalan Bun berlaku pada laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan.
c. Golongan masyarakat umum, masyarakat ini terdiri dari rakyat biasa, baik yang asli Pangkalan Bun ataupun warga pendatang.
Dalam perkembangannya gelar-gelar kebangsawanan diatas mulai ada yang tidak menggunakannya lagi, karena keinginan mereka sendiri untuk membaur dengan masyarakat. Pada golongan bangsawa sendiri mulai terjadi kesenjangan diantara golongan tersebut, terutama dari segi kekayaan yang membuat mereka jauh satu sama lain.
Sedangkan dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku A. Zailani (wawancara, Selasa, 27 Nopember 2007) diperoleh pembagian gelar-gelar kebangsawanan di Kerajaan Kotawaringin yang lebih rinci. Adapun gelar-gelar kebangsawanan tersebut antara lain:
a. Raja atau sultan mendapat gelar Pengeran Ratu
Di dalam buku sejarah Kotawaringin terbitan Bappeda dijelaskan bahwa karena kerajaan kotawaringin merupakan bagian kerajaan Banjar, maka sultan-sultan Kotawaringin memakai gekar pangeran. Ini untuk menunjukkan kesantunan terhadap kerajaaan Banjar yang lebih tua dan karena gelar sultan telah dipakai di kerajaan banjar sebagai gelar raja. Walaupun didalam lingkungan kerajaan kotawaringin para pengeran yang menjadi raja disebut juga dengan sultan, namun jika beliau ke kerajaan Banjar, maka disebut dengan gelar pengeran. (Bappeda : 2004 : 11)
b. Anak raja atau sultan mendapat gelar : – Laki-laki = Pangeran
- Perempuan = Ratu
c. Jika Pangeran menjadi raja maka anaknya mendapat gelar :
- Laki-laki = Gusti
- Perempuan = Utin
d. Jika ”Gusti” menikah dengan orang biasa maka gelar Gustinya tetap turun ke anaknya yang laki-laki dan ”Utin” anaknya yang perempuan. Namun jika Utin menikah dnegan orang biasa maka gelar anaknya adalah ”Mas”.
e. Dibawah gelar ”Mas” ada gelar ”Anden”, tetapi gelar ini sudah jarnag dipakai karena sudah jauh hubungan darahnya.
f. Gelar ”Tengku” bukanlah berasal dari kerajaan Kotawaringin, tetapi dari kerajaan siak Indragiri Riau yang masuk ke Kotawaringin akibat adanya perkawinan dengan kaum bangsawan kerajaan Kotawaringin maupun dengan rakyat biasa. Gelar ”Tengku” di Pangkalan Bun berlaku untuk laki-laki dan perempuan, jika seorang laki-laki yang bergelar ’’Tengku” menikah dengan orang biasa maka anaknya tetap mendapat gelar ”Tengku”, tetapi jika perempuan yang bergelar ”Tengku” menikah dengan orang biasa maka anaknya tidak mendapat gelar lagi.
Sehingga sangat jelas di kota Pangkalan Bun, gelar bangsawan seseorang lebih dilihat dari pihak ayah atau partrineal. Unutk lebih jelasnya berikut merupakan bagan dari klan Patrilineal :
Keterangan :
= Laki-laki
= Perempuan
1. Kakek
2. Paman
3. Ayah
4. Bibi
5. Saya / ego
6. Saudara perempuan saya / ego
Di Pangkalan Bun sendiri gelar-gelar bangsawan yang berada dimasyarakat, setelah perubahan pemerintahan dari kerajaan ke kewedanaan tetap di pakai hingga sekarang. Namun gelar kebangsawanan tersebut, bukan lah kasta untuk menempat seseorang diatas golongan tertentu tetapi hanya sebagai tanda bahwa seseorang tersebu masih ada hubungan darah dengan sultan-sultan di kerajaan kotawaringin.
Pada stratifikasi yang berdasarkan kepegawaian dan kepangkatan sebagai pengaruh kolonialisme, pada mulanya diawali sejak diberlakukannya politik etis karena diperlukannya pegawai-pegawai yang terampil dibidang-bidang masing. Pengangkatan pegawai-pegawai ini melahirkan lapisan sosial baru dimasyarakat yaitu lapisan masyarakat priyayi.
Bagi masyakarakat pribumi yang diangkat dan masuk kedalam lapisan priyayi selanjutnya mendapat hak-hak yang istimewa. Hak-hak ini berbeda dengan penduduk lain yang tidak menjadi pegawai. Atas dasar perbedaan tersebut, dikalangan pegawai terbagi kedalam lapisan-lapisan berdasarkan alasan kepangkatan, yaitu: (Arif Rohman dkk : 2002: 17).
a. Golongan pegawai tinggi sebagai lapisan teratas.
b. Golongan pegawai menengah sebagai lapisan menengah
c. Golongan pegawai rendah sebagai lapisan terbawah.
Sampai sekarang pelapisan sosial berdasarkan kepegawaian dan kepangkatan masih hidup dan diakui dimasyarakat.
Stratifikasi yang kedua adalah stratifikasi yang berdasarkan kebangsawanan seseorang. Pelapisan sosial ini merupakan pengaruh dari sistem kerjaaan yang pernah ada di Pangkalan Bun. Pada masa kerajaan sendiri, pemerintahan yang tertinggi ditangan seorang raja atau sultan. Raja dibantu beberapa orang Menteri, dan Menteri itu adalah antara lain:
a. Mangku Bumi, ialah orang kedua dari raja, dapat mewakili dan memangku jadi raja jika raja yang baru belum dinobatkan karena putera Mahkota masih dibawah umur.
b. Mantri Papalu, ialah orang yang langsung melaksanakan instruksi dalam pelaksanaan pemerintahan.
c. Mantri Tanda, ialah orang yang mengurusi bidang keamanan dan ketertiban, serta menjadi penegak dan penuntut hukum (jaksa).
d. Mantri Bendahara, ialah orang yang mengurus kekayaan kerajaan.
e. Mantri perseban, ialah orang yang mengurus upacara, sidang/rapat, musyawarah dan segala upacara di Balai Perseban atau Pendopo.
f. Mantri dalam, ialah orang yang mengurus urusan didalam istanan selaku pembantu pribadi raja.
g. Raja Muda, ialah calon raja dari putra mahkota. (Lontaan dan Sanusi : 1976 : 130)
Menurut H. Tengku Syahrial (wawancara, Rabu, 11 November 2007) maka penulis dapat menggambarkan stratifikasi yang berdasarkan kebangsawanan adalah sebagai berikut:
a. Golongan bangsawan, golongan ini terdiri dari para keturunan Sultan dari Putra mahkota hingga para Gusti Utin dan Tengku sebagai orang yang masih mengalir darah bangsawan didirinya.
Di dalam golongan ini terbagi lagi menjadi tiga yaitu: Lapisan tertinggi, bangsawan dari kerabat raja yang terdekat, lapisan menengah, bangsawan dari kerabat raja yang terdekat, lapisan terendah, bangsawan yang hubungannya lebih jauh dari yang pertama.
b. Golongan Jaba, golongan ini adalah golongan yang setengah bangsawan. Golongan ini adalah anak dari perkawinan antara golongan bangsawan dengan rakyat biasa. Misalnya Gusti atau Utin menikah dengan orang biasa. Hasil perkawinan ini mendapat gelar ”Mas’ bukan Gusti atau Utin. Jika salah seorang Utin menikah dengan Tengku maka setiap anak hasil pernikahan mereka tetap berada di golongan pertama dengan gelar Tengku. Gelar Tengku di Pangkalan Bun berlaku pada laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan.
c. Golongan masyarakat umum, masyarakat ini terdiri dari rakyat biasa, baik yang asli Pangkalan Bun ataupun warga pendatang.
Dalam perkembangannya gelar-gelar kebangsawanan diatas mulai ada yang tidak menggunakannya lagi, karena keinginan mereka sendiri untuk membaur dengan masyarakat. Pada golongan bangsawa sendiri mulai terjadi kesenjangan diantara golongan tersebut, terutama dari segi kekayaan yang membuat mereka jauh satu sama lain.
Sedangkan dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku A. Zailani (wawancara, Selasa, 27 Nopember 2007) diperoleh pembagian gelar-gelar kebangsawanan di Kerajaan Kotawaringin yang lebih rinci. Adapun gelar-gelar kebangsawanan tersebut antara lain:
a. Raja atau sultan mendapat gelar Pengeran Ratu
Di dalam buku sejarah Kotawaringin terbitan Bappeda dijelaskan bahwa karena kerajaan kotawaringin merupakan bagian kerajaan Banjar, maka sultan-sultan Kotawaringin memakai gekar pangeran. Ini untuk menunjukkan kesantunan terhadap kerajaaan Banjar yang lebih tua dan karena gelar sultan telah dipakai di kerajaan banjar sebagai gelar raja. Walaupun didalam lingkungan kerajaan kotawaringin para pengeran yang menjadi raja disebut juga dengan sultan, namun jika beliau ke kerajaan Banjar, maka disebut dengan gelar pengeran. (Bappeda : 2004 : 11)
b. Anak raja atau sultan mendapat gelar : – Laki-laki = Pangeran
- Perempuan = Ratu
c. Jika Pangeran menjadi raja maka anaknya mendapat gelar :
- Laki-laki = Gusti
- Perempuan = Utin
d. Jika ”Gusti” menikah dengan orang biasa maka gelar Gustinya tetap turun ke anaknya yang laki-laki dan ”Utin” anaknya yang perempuan. Namun jika Utin menikah dnegan orang biasa maka gelar anaknya adalah ”Mas”.
e. Dibawah gelar ”Mas” ada gelar ”Anden”, tetapi gelar ini sudah jarnag dipakai karena sudah jauh hubungan darahnya.
f. Gelar ”Tengku” bukanlah berasal dari kerajaan Kotawaringin, tetapi dari kerajaan siak Indragiri Riau yang masuk ke Kotawaringin akibat adanya perkawinan dengan kaum bangsawan kerajaan Kotawaringin maupun dengan rakyat biasa. Gelar ”Tengku” di Pangkalan Bun berlaku untuk laki-laki dan perempuan, jika seorang laki-laki yang bergelar ’’Tengku” menikah dengan orang biasa maka anaknya tetap mendapat gelar ”Tengku”, tetapi jika perempuan yang bergelar ”Tengku” menikah dengan orang biasa maka anaknya tidak mendapat gelar lagi.
Sehingga sangat jelas di kota Pangkalan Bun, gelar bangsawan seseorang lebih dilihat dari pihak ayah atau partrineal. Unutk lebih jelasnya berikut merupakan bagan dari klan Patrilineal :
Keterangan :
= Laki-laki
= Perempuan
1. Kakek
2. Paman
3. Ayah
4. Bibi
5. Saya / ego
6. Saudara perempuan saya / ego
Di Pangkalan Bun sendiri gelar-gelar bangsawan yang berada dimasyarakat, setelah perubahan pemerintahan dari kerajaan ke kewedanaan tetap di pakai hingga sekarang. Namun gelar kebangsawanan tersebut, bukan lah kasta untuk menempat seseorang diatas golongan tertentu tetapi hanya sebagai tanda bahwa seseorang tersebu masih ada hubungan darah dengan sultan-sultan di kerajaan kotawaringin.
Sumber : http://jalian.wordpress.com/2008/02/18/stratifikasi-sosial-tiga-zaman-di-pangkalan-bun/
gambar nya ndak ada ya?
BalasHapus