Simbol Kesultanan Kotawaringin |
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah
kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang
menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang
menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama)
didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan
kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini sering dianggap sebagai
tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat
Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di
antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan
Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian
yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda
dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu
negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
Kotawaringin
merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin
Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa
Jawa, ringin berarti beringin.
Negeri Kotawaringin
disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian
Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit.
Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka
merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung
(Minangkabau).
Sejak diperintah
Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung
menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan
Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar.
Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang
menjadi raja juga disebut dengan Sultan.
Kerajaan
Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar
IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati
Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang
semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan
di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding
kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di
sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai
Jelai. Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar
(Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten
Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu
bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur
Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta
daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala
suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau
Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran sungai
Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin. Daerah aliran Sungai
Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan
Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.
Sejarah
Istana Lawang Agung Bukit Indra Kencana |
Kerajaan Kotawaringin atau Kesultanan Kotawaringin
merupakan satu-satunya kesultanan yang tercatat pernah berdiri di
wilayah Kalimantan Tengah. Dan sejarah berdirinya Kesultanan
Kotawaringin tidak lepas dari sejarah Kesultanan Banjar. Salah satu
fakta sejarah ditunjukkan dalam buku "Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat" karangan J.U. Lontaan
dan G.M. Sanusi. Bahwa Pangeran Anta-Kasuma adalah salah satu keturunan
dari Sultan Banjar. Awal mula pendirian Kesultanan Kotawaringin dimulai
dari perseteruan yang melanda Kesultanan Banjar seputar perebutan
kekuasaan antara Pangeran Adipati Tuha dan Pangeran Anta-Kasuma.
Pangeran Adipati Tuha yang sebenarnya adalah kakak dari Pangeran
Anta-Kasuma akhirnya memenangkan perebutan tahta yang mengantarkannya
menduduki singgasana Kesultanan Banjar. Dan Pangeran Anta-KAsuma,
memilih untuk meninggalkan Kesultanan Banjar guna mencari wilayah baru.
Sikap sang adik direstui oleh Pangeran Adipati Tuha karena kebetulan
sesuai dengan politik luar negeri kesultanan kala itu yang sedang dalam
masa perluasan wilayah kekuasaan.
Dayak Arut |
Akhirnya rombongan Pangeran Anta Kasuma berangkat menuju
wilayah baru. Perjalanan rombongan Pangeran Anta-Kasuma sampai di
daerah yang bernama Rantau Pulut. Perjalanan diteruskan dan sampai di
hulu Sungai Arut, daerah Pandau. Di hulu Sungai Arut, rombongan Pangeran
Anta Kasuma bertemu dengan penduduk lokal, yaitu kumpulan dari sembilan
kelompok suku yang berbeda, antara lain Suku Dayak Gambu, Arut dan Anom
pimpinan Demang Petinggi di Umpang.
Prasasti Batu Patahan |
Pada awal pertemuan, rombongan Pangeran Anta Kasuma
hampir bentrok dengan Suku Dayak Arut, namun jalan damai dengan cara
perundingan akhirnya lebih dipilih. Lewat jalan perundingan tersebut,
Pangeran Anta Kasuma mengikat sumpah darah dengan Suku Dayak Arut yang
ditandai dengan sebuah prasasti yang disebut Batu Patahan atau Panti
Darah Janji Semaya. Prasasti ini sampai sekarang masih bisa dijumpai.
Setelah berjumpa dengan Suku Dayak Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma
melanjutkan perjalanan hingga sampai di daerah Tanjung Pangkalan Batu
(Kotawaringin Lama). Di tempat ini rombongan mendirikan lanting (rumah
apung dari kayu). Setelah bermukim cukup lama, PAngeran Anta Kasuma
mendapatkan karunia seorang putri yang diberi nama Puteri Lanting. Di
Tanjung Pangkalan Batu, Pangeran Anta Kasuma mencoba untuk mendirikan
permukiman hingga berkembang menjadi bentuk kerajaan.
Kerajaan ini
dikenal dengan dengan nama Kerajaan Kotawaringin. Karena bentuk kerajaan
yang masih terpengaruh oleh Islam dan karena cikal bakal pendirian
Kerajaan Kotawaringin dilakukan oleh keturunan Sultan Musta'in Billah
yang memeluk agama Islam, maka mulai dari awal berdiri Kerajaan
Kotawaringin telah lazim disebut dengan nama Kesultanan Kotawaringin.
Menurut Kakawin Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365
menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri
di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang
berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan
oleh Gajah Mada dari Kerajaan
Majapahit. Panembahan Kalahirang dari Kerajaan
Sukadana(Tanjungpura)
melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari
Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi
kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana
sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno
(Negara Dipa).Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar
sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan
telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti
yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang
tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin
debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas.
Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan
Laut dan Tongara Mandi
telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ.
Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah
Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya
dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana.
Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin
dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama
di pinggir sungai Lamandau.
Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh
lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di
sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.
Dalam Hikayat Banjar
tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV
yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?]
bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin
dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma
karena menikahi Andin Juluk,
puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma
juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah
Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Musta'in Billah telah menikahkan
Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir).
Istana Kuning |
Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin
Hayu. Lebih kurang 15
tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung
dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya
untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang
lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan
menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau.
Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke
anak sungai Bulik.
Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang
terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon
pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi
tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi
lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut
sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan
Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini
tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ
dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (=
senapang) Cina dan dua buah belanga
(tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat
yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang
Darat atau Orang Ruku.
Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan
pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan
kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan
Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas
pemerintahan Kiai Gede, tibalah di
Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan
(Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri
Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan,
Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan
Pembuang,
di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik
dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para
menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut
dinamakan Pembuang
artinya tempat yang terbuang. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke
sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan
membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang
menjanjikan taat setia mereka.
Makam Kyai Gede |
Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu
Patahan,
tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke
laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang
menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih
darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian
tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede
mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai
mangkubumi.
Masa Kejayaan
Kesultanan Kotawaringin
Masjid Jami' Kotawaringin |
Sultan pertama
Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu
Bagawan Kotawaringin. Beliau memerintah dengan dibantu oleh Kyai Gede.
Pada masa pemerintahannya, sang sultan telah menetapkan batas wilayah
kekuasaan dan membuat undang-undang yang dikenal dengan nama Kunan
Kuntara.
Pada masa
pemerintahan Ratu Bagawan, beliau membangun Dalem Luhur atau Istana
Luhur. Selain membangun Istana, sang Sultan juga membangun Perpatih
(rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati, Perdipati (rumah panglima perang)
Gadong Asam, Pa'agungan (gudang untuk menyimpan peralatan perang yang
terdiri dari senjata dan pusaka), membangun surau untuk keperluan
ibadah, dan paseban sebagai tempat bagi para bawahan dan rakyat untuk
menghadap sultan. Pembangunan yang dilakukan oleh Ratu Bagawan
semata-mata bertujuan untuk meletakkan fondasi tata pemerintahan yang
akan diwariskan kepada generasi setelahnya.
Pemerintahan Ratu
Bagawan Kotawaringin berakhir dengan ditandai peralihan tahta kepada
putranya yang bernama Pangeran Mas Adipati. Pada masa awal pemerintahan
Pangeran MAs Adipati, beliau masih didampingi oleh Mangkubumi Kyai Gede.
Tetapi di tengah-tengah menjalankan tugasnya sebagai mangkubumi, Kyai
Gede meninggal dunia. Sebagai pengganti jabatan mangkubumi di
Kesulatanan Kotawaringin, Pangeran Mas Adipati mengangkat Dipati Gading.
Pangeran Anum Kasuma Yudha |
Pengganti Pangeran
Mas Adipati adalah puteranya yang bernama Pangeran Panembahan Anum.
Dalam menjalankan pemerintahan, beliau didampingin oleh Mangkubumi
Dipati Gading. Selama hidup, Pangeran Panembahan Anum dikaruniai dua
orang putra. Putra tertua yang bernama PAngeran Prabu akhirnya diangkat
sebagai Sultan untuk menggantikan kedudukan Pangeran Panembahan Anum.
Pangeran Prabu
mempunyai 3 orang putera. Ketika telah selesai memimpin Kesultanan
Kotawaringin, belaiu mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putera
tertuanya yang bernama Pangeran Dipati Tuha. setelah wafat Dipati Tuha
digantikan oleh puteranya yang bernama Pangeran Penghulu. Pengganti
Pangeran Penghulu adalah puteranya yang bernama Pangeran Ratu Bagawan.
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Bagawan, beliau membangun Masjid
Jami Kotawaringin. Masjid ini dibangun karena surau yang telah dibangun
pada masa Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan Kotawaringin telah
rusak. Pada masa inilah Kesulatanan Kotawaringin mencapai puncak
kejayaannya.
Pangeran Ratu
Bagawan membawa Kesultanan Kotawaringin ke puncak kejayaan. Sultan ke-7
ini menempatkan perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian
Kesultanan Kotawaringin. Pertanian dan hasil bumi yang melimpah
dijadikan sebagai komoditi perdagangan. Bahkan hasil kerajinan yang
diproduksi oleh penduduk Kesultanan Kotawaringin laku di pasaran
mancanegara. Kemajuan di sektor perekonomian tampaknya juga memacu
perkawinan antarsuku dan menjadi magnet bagi para pendatang baru untuk
bermukim di wilayah Kesultanan Kotawaringin.
Kemunduran dan
Keruntuhan Kesultanan Kotawaringin
Masa kejayaan
Kesultanan Kotawaringin tak berlangsung lama. Bersamaan dengan situasi
diama kesultanan mencapai titik tertinggi dibidang perekonomian, muncul
kebijakan baru dari negara induk, yaitu Kesultanan Banjar untuk
menyerahkan Kesultanan Kotawaringin dibawah penguasaan Belanda.
Peralihan penguasaan
Kesultanan Kotawaringin ternyata berdampak sangat besar. Pengalihan ini
terutama berimbas pada sektor perekonomian dan pemerintahan. Monopoli
perdagangan yang sebelumnya dipegang Kesultanan Kotawaringin, kini
diambil alih oleh Belanda.
Pada sektor
pemerintahan, Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya "berkiblat" kepada
Kesultanan Banjar kini beralih ke Pemerintahan Hindia Belanda.
kesultanan Kotawaringin kini harus mengikat diri dengan Pemerintahan
Hindia Belanda melalui penandatanganan perjanjian mengelola sumber daya
alam di wilayah Kesultanan kotawaringin. Hal ini dikukuhkan dengan
peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa
Kesultanan Kotawaringin tidak lagi melaporkan pertanggung jawaban kepada
Kesultanan Banjar, melainkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda yang
diwakilkan kepada seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.
Perpindahan
kekuasaan kemudian juga diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan.
Pusat pemerintahan yang sebelumnya berlokasi di Kotawaringin Lama
berpindah ke Sukabuni Indra Sakti atau dikanal dengan nama Pangkalan
Bu'un (Pangkalan Bun). Kejadian ini terjadi ketika Kesultana
Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Imanuddin pada tahun 1814. Besar
kemungkinan perpindahan pusat pemerintahan tersebut juga dilandasi oleh
faktor pangalihan kekuasaan.
Kekuasaan Belanda
yang besar ini kemungkinan dipergunakan untuk terus menekan pihak
kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa
kekuasaan yang nyata.
Pihak keluarga
Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bu'un
kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan
pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan
yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian
ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan.
Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda
memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota
kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bu'un.
Penobatan Pangeran Ratu Anum Alamsyah |
Perselisihan kembali
terjadi ketika Kesultanan diperintah oleh Sultan ke-12, PAngeran Paku
Sukma Negara. Ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak
mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil
keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan
Pangeran Imanuddin (Sultan ke-9). Berdasarkan keputusan tersebut,
Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran
Paku Sukma Negara.
Pengaruh yangs
sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan
pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan
Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesi nmemproklamirkan
kemerdekaannya.
Bergabung dengan
Republik Indonesia
Ketika kemerdekaan
Indonesia berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan
Kotawaringin secara tegas menyatakan diri untuk masuk dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap ini dikemukakan secara
langsung oleh Sultan ke-14, yaitu Pangeran Ratu Anom Alamsyah. Sikap ini
menimbulkan konsekuensi di pihak Kesultanan Kotawaringin, yaitu wilayah
kesultanan dilebur ke dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia.
Konsekuensi tersebut berimbas pada perubahan bentuk Kesultanan menjadi
swapraja (setingkat dengan kewedanan).
Kebangkitan
Kembali Kesultanan Kotawaringin
Pada Tanggal 1 Mei
1950, secara resmi Swapraja Kotawaringin menjadi bagian dari Republik
Indnesia. Meskipun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke
Kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desembar 1949 berdasarkan
undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Pangeran Muasyidin Syah |
Pangeran Kasuma Anom
Alamsyah II memegang tampuk kekuasaan sebagai penguasa daerah swapraja
sampai tahun1975. Pasca pemerintahan beliau zuriat Kesultanan
Kotawaringin bermufakat untuk mengurus seorang pengurus harian bernama
Pangeran Muasyidin Syah. Jabatan ini disandang oleh Pangeran Muasyidin
Syah hingga tahun 2010. Pangeran Muasyidin Syah merupakan adik dari
Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, sultan ke-13 Kesultanan
Kotawaringin.
Penobatan
Pangeran Ratu Alidin Alamsyah sebagai Sultan ke-15 di Kesultanan Kotawaringin |
Perubahan terjadi
pada bulan Mei 2010. Kala itu muncul ide untuk mengangkat kembali
peranan sultan sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Kotawaringin.
Tetapi peran sultan yang ada sekarang berbeda dengan peran sultan ketika
masih menjadi daerah sendiri sebelum dilebur menjadi satu kesatuan
dibawah Pemerintah Republik Indonesia. Peran sultan sekarang sebatas
sebagai simbol budaya.
Ide untuk kembali
mengangkat simbol kemudian mendapat momentum ketika zuriat Kesultanan
Kotawaringin bermufakat untuk mengangkat Pangeran Ratu Alidin Sukma
Alamsyah sebagai sultan ke-15 Kesultanan Kotawaringin. Penobatan
dilaksanakan di Istana Kuning, pada tanggal 16 Mei 2010. Pangeran Ratu
Alidin Sukma Alamsyah merupakan putra tertua dari Sultan ke-14
Kotawaringin, Pangeran Ratu Sukma Alamsyah.
Istana Kuning - Istana Kotawaringin |
Sultan Kesultanan
Kotawaringin
- Pangeran Adipati Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan
- Pangeran MAs Adipati
- Panembahan Kotawaringin
- Pangeran Prabu/ Panembahan derut
- Pangeran Dipati Muda
- Pangeran Panghulu
- Pangeran Ratu Bagawan
- Pangeran Ratu Anum Kasuma Yudha
- Pangeran Imanudin/ Pangeran Ratu Anom
- Pangeran Akhmad Hermasyah
- Pangeran Ratu Anom Alamsyah I
- Pangeran Ratu Sukma Negara
- Pangeran Ratu Sulma Alamsyah
- Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (meninggal tahun 1975)
- Pangeran Muasyidin Syah (pengurus harian Kesultanan Kotawaringin)
- Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (2010-sekarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar