Pada zaman dahulu kala
di desa kutaringin ada sekelompok orang hidup dengan serba kekurangan.
Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berkebun. Di desa kutaringin ini
ada
sebuah sungai besar dan panjang. Sungai ini terkenal dengan sungai
lamandau.
Sungai lamandau ini selain digunakan sebagai tempat mandi oleh para
penduduk,
sungai ini juga di jadikan sebagai mata penceharian mereka.
Suatu hari ada salah
satu dari penduduk mandi di sungai lamandau pada saat matahari terbenam.
Ketika
ia mandi datanglah seekor ikan balida menemui penduduk tersebut.
Kejadian yang
serupa terulang kembali ikan balida ini menemui penduduk yang lain.
Bahkan
setiap mereka mandi ikan balida tersebut selalu datang menemui
mereka. Seiring berjalannya waktu akhirnya
di desa kutaringin ini mengalami perubahan musim, hujan tak kunjung
turun air
di sungai lamandau pun hampir kering, kemarau makin larut dan penduduk
pun
resah. Ikan belida yang sering datang menemui mereka pun kini tidak
pernah
menemui mereka lagi. Selama 7 tahun kemarau akhirnya air yang mengalir
begitu
indah berelok-elok mengikuti arus sepanjang sungai kini menjadi sebuah
daratan.
Penduduk pada saat ini sangat menderita selain kekeringan air, kebun
yang
dijadikan sebagai kebutuhan sehari-hari kini telah mati karena
kekurangan air
dan sungai yang dijadikan sebagai matapencaharian mereka kini telah
menjadi
daratan.
Kemudian salah satu
dari warga menyusuri sungai yang menjadi daratan itu, ke daerah hulu.
Selama diperjalanan
ia berharap menemukan sumber air agar penderitaan yang dialami oleh
penduduk
bisa teratasi. Setelah beberapa lama kemudian menelusuri sungai itu, ia
menemukan seekor ikan tapah yang besar. Ia pun mendekati ikan tersebut,
ternyata ikan itu masih hidup. Penduduk ini pun terkejut lalu lari dan
berteriak memberitahu penduduk yang lain, bahwa ada seekor ikan tapah
besar.
Lalu mereka bersama-sama mendatangi ikan tersebut. “kenapa ikan ini
masih
hidup, bukankah didesa kita ini kekeringan air, kata seorang penduduk”.
Bagaimana kalau kita mengangkat ikan ini siapa tahu ada mata air dibawah
ikan
ini. Lalu mereka bersama-sama mengangkat ikan tapah ini, akhirnya pun
dugaan
mereka benar. Ternyata ikan tapah ini bisa hidup karena ia berada diatas
mata
air. Penduduk pun senang akhirnya mereka menemukan sumber air. Untuk
memenuhi
kebutuhan mereka sehari-hari mereka bergotong-royong mengambil air dari
bawah
perut ikan tapah. Mengambil air dibawah perut tapah ini sangat sulit,
sebab
ikannya besar dan menutupi mata air yang ada, sehingga mereka
berkerjasama ada
yang megang bagian kepala ikan tapah, bagian perut, dan bagian ekornya.
Selama
bertahun-tahun mereka merasakan penderitaan ini. Para penduduk berdoa
dan
memuja kepada benda-benda yang dianggap mereka sebagai tuhan untuk
meminta
supaya turun hujan. Akhirnya doa mereka dikabulkan, hujan yang begitu
deras
mengguyur desa mereka pendudukpun suka melihat air hujan yang begitu
deras. Tanaman
mereka pun tumbuh kembali.
Keesokan harinya ikan
belida yang sering menemui mereka terbujur kaku ditemukan seorang
penduduk di
sungai yang menjadi daratan tersebut. Ikan belida ini setelah menghilang
selama
musim kemarau terjadi akhirnya ikan ini ditemukan menjadi batu. Batu
belida ini
dibawa kepermukiman penduduk. Batu belida ini memberikan isyarat secara
gaib
bahwa di desa kutaringin ini suatu saat akan kedatangan seorang ulama
yang akan
menyebarkan agama islam di desa ini. Lalu batu belida ini pun berbicara,
“apa
yang kalian inginkan didesa ini, kata batu belida”. aku bisa mengabulkan
permintaan yang kalian inginkan. Pendudukpun terkejut batu belida yang
terbujur
kaku ini bisa berbicara. “kamu bisa berbicara, kata seorang penduduk”.
Batu
itupun, menganguk. “Apa benar kau bisa mengabulkan permintaan kami, jika
benar turunkanlah
hujan terus menerus sehingga kekeringan yang melanda desa kami ini bisa
berakhir, Kata seorang penduduk”. Baiklah, aku akan mengabulkan itu,
kata batu
belida. Tiba-tiba cuaca yang sangat cerah menjadi mendung, tidak lama
kemudian
suara petir pun bergema lalu turun hujan yang begitu deras secara terus
menerus
sehingga air memenuhi sungai lamandau yang menjadi daratan selama
bertahun-tahun, ikan tapah yang menutupi mata airpun akhirnya menghilang
begitu
saja.
Masuklah belanda
menjajah ke desa kutaringin ini, lalu menumbuk belikang batu belida itu.
Kata
terakhir yang diucapkan batu belida tersebut adalah “ALLAH HUAKBAR”. Lalu
juragan belanda berkata, “Apa tidak ada yang kramat”. Penduduk pun tidak
bisa
berbuat apa-apa, hanya bisa mengucapkan allah huakbar mengikuti
perkataan batu
belida tadi. Setelah belanda ini menghancurkan batu belida tersebut
mereka
segera meninggalkan desa kutaringin ini. Pada saat mereka berlayar
setelah diperjalanan
belanda yang menjajah desa kutaringin ini pengawalnya mati semua, hanya
juragannya yang masih hidup di dalam kapal tersebut.
Batu belida yang ditumbuk oleh juragan belanda sudah tidak
bisa berbicara bahkan memberikan isyarat secara gaibpun batu ini tidak
bisa. Lalu
datanglah seorang ulama yang bernama Kyai Gede yang diutus oleh Syekh Arsyad Al Banjary atau Datuk
Kalampayan di
Kalimantan selatan untuk menyebarkan agama islam di desa kutaringin ini.
Dengan
didampingi pengawalnya sebanyak 40 orang. Sebagian penduduk dayak di
kutaringin
ini setiap aktivitasnya selalu diawali dengan mengucapkan “allah
huakbar”. Ini semua karena batu belida tersebut, batu belida
inipun sudah tidak bisa berbicara sampai saat ini. Belanda yang menjajah
desa
kutaringin inipun takut ia kembali menjajah lagi setelah Kyai gede
membangun
kerajaan kutaringin di desa ini.
Sumber : http://lovechinchun.blogspot.com/2012/11/cerita-rakyat-kotawaringin-lama-normal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar