- Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis
tahun 1365
menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di
negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang
berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan
oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
- Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura)
melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari
Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi
kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana
sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno
(Negara Dipa).
- Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis
pada tahun 1663,
sejak masa kekuasaan Maharaja
Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari
Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada
masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi
taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut
raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan.
Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah
yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah
ditaklukan. [10]
- Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai
penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim
menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang
dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku
Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut
telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak
yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas.
Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara
Mandi telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua
bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke
wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan
saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi
kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau
sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai
Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu
oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu,
di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.[11]
Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah
dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk
menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding
dari golongan Andin dan juga sebagai mertua
dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk,
puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma
juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri
Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah
telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul
(adipati Pasir). Pasangan ini
memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.[10]
- Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan
Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi.
Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan
memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini
mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka
saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai
Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik.
Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang
terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon
pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi
tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi
lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut
sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan
Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini
tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ
dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina
dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah
tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai
dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku.
Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan
pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan
kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan
Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35
tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin
Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar
IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya
mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang,
di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik
dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para
menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut
dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau
tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai
Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan
orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.[11]
Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan,
tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke
laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang
menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih
darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut.[14]
Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede
mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
- Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan
dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas
Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan
Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura[15],
Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa [11]
(= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat
Banjar disebut Raden Saradewa [10]
yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri
Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah
Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah
perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya
perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV)
mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap
tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada
cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya.
Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri
Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang
ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian
tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura
kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra
(= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang
merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut,
karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang
dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma
Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden
Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura). [10]
- Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung),
abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota
Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan
desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai).
Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa
serta Raden Buyut Kasuma Matan. [10]
Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana)
tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan
di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai
Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.[11]
Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di
pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju). [10]
- Raja Kotawaringin (Pangeran
Antakasuma), Raja
Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri
dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota
di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung).
Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi
di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun
Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura.
Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan
terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan
Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan
kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa
Sultan Rakyatullah.
- Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma
memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di
sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas.
Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin
kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau
berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu
Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
- Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan
Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin
untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan
Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat
itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan
gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian
menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan
artinya raja maha pandita. Selama di Martapura,
Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi
dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655),
menggantikan adiknya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia
kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada
adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak
lama kemudian ia meninggal dunia [10]
tahun 1657
dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah,
Banjarmasin.
- Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran
Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa.
Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan
yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh.
Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh
dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian
negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu
Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai.
Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh
Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Beliau telah membantu
Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda
yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama
yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan
Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan
dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru
dari Batavia.
Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang
lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan
tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran
Ratu. [11]
- Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17
Agustus 1945,
Kobar merupakan
satu wilayah Kesultanan
Kotawaringin.[16]
- Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama
(hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan
Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai
pusat pemerintahan.[16]
- Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah
Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya
dimasukan dalam daerah Dayak
Besar.[17]
- Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi
bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya
berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai
daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang
ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[16]
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3
Kabupaten yaitu :
- Kabupaten Kotawaringin Barat
- Kabupaten Lamandau
- Kabupaten Sukamara
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kotawaringin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar