Moto : Isen Mulang
(Bahasa Sangen : Pantang Mundur)
(Bahasa Sangen : Pantang Mundur)
A. Sejarah
Kebudayaan di Kalimantan Tengah
Budaya Kalteng sangat beraneka ragam, biasanya budaya kalteng identik
dengan kebudayaan adat dayak. Untuk memperkenalkan pada masyarakat
luas, salah satu ciri khas atau kriteria suku dayak bisa kita lihat
definisi dibawah ini :1. Suku Bangsa
Suku Dayak merupakan suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas Dayak Hulu dan Dayak Hilir. Dayak Hulu terdiri atas : Dayak Ot Danum, Dayak Siang, Dayak Murung, Dayak Taboyan, Dayak Lawangan, Dayak Dusun dan Dayak Maanyan. Sedangkan Dayak Hilir terdiri atas: Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Katingan, dan Dayak Sampit. Suku Dayak yang dominan di Kalimantan Tengah adalah suku Dayak Ngaju, suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan ¼ populasi Kalteng. Disamping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan lain-lain. Gabungan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%.
2. ASAL MULA
Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.
Pada abad ke-16 Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus Negara Dipa yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada jaman dulu) juga pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri’ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting. Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin.
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda. Sekitar tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito Raya) terbagi dalam beberapa daerah pemerintahan yaitu: Kiaij Martipatie, Moeroeng Sikamat, Dermawijaija, Kiaij Dermapatie, Ihanjah dan Mankatip.
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8. Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar.
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di selatan Kalimantan. Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada. Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.
Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis, Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak. Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia. Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray , F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar, kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak lainnya.
Tahun 1942, Kalimantan Tengah disebut Afdeeling Kapoeas-Barito yang terbagi 6 divisi.
3. Revitalisasi Kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah
1. Kebudayaan Dayak (Budaya Betang)
- Pengetahuan /Nilai-nilai : Masyarakat multikultur yang menghargai perbedaan. Integrasi dalam kehidupan pluralis
- Makna : Inspirasi perjuangan masyarakat Dayak
- Refleksi : Perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat warga Betang agar menjadi tuan dinegeri sendiri
- Pengetahuan/Nilai-nilai : Kerjasama toleransi dan partisipasi
- Makna : Identitas komunal
- Refleksi : Kebangkitan warga Dayak menghadapi tantangan hidup yang selama ini menghimpit mereka
- Pengetahuan/Nilai-nilai : Jati diri/ Harga diri
- Makna : Batas- batas budaya (cultural boundaries) yang tidak bisa di ganggu
- Refleksi : Kesejajaran Harkat dan martabat orang Dayak dengan komunitas lainnya
- Pengetahuan/Nilai-nilai : Pengetahuan terhadap lingkungan alam.
- Makna : Perlindungan atau pencegahan kerusakan alam
- Refleksi : Eksploitasi sumber daya hutan yang merugikan masyarakat
- Pengetahuan : Berjuang untuk mencapai keberhasilan
- Makna : Perang melawan ketidakadilan
- Refleksi : Perubahan terhadap struktur yang telah lama membelenggu warga Dayak.
- Pengetahuan : Keterbukaan terhadap pendatang dari luar
- Makna : Semangat egaliter dan tetap mempertahankan jati diri
- Refleksi : Konsekuensi dalam pergaulan dalam masyarakat multikultur
- Pengetahuan : Pantang Mundur
- Makna : Keuletan, ketangguhan dan orientasi pada prestasi
- Refleksi : Tantangan dalam menghadapi globalisasi
- Kabupaten Kotawaringin Barat dengan Ibukotanya Pangkalan Bun luas wilayah sekitar 10.759 Km2
- Kabupaten Sukamara dengan Ibukotanya Sukamara luas wilayah sekitar 3.827 Km2
- Kabupaten Lamandau dengan Ibukotanya Nanga Bulik luas wilayah sekitar 6.414 Km2
- Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibukotanya Sampit luas wilayah sekitar 16.496 Km2
- Kabupaten Seruyan dengan Ibukotanya Kuala Pambuang luas wilayah sekitar 16.404 Km2
- Kabupaten Katingan dengan Ibukotanya Kasongan luas wilayah sekitar 17.800 Km2
- Kabupaten Kapuas dengan Ibukotanya Kuala Kapuas luas wilayah sekitar 14.999 Km2
- Kabupaten Gunung Mas dengan Ibukotanya Kuala Kurun luas wilayah sekitar 10.804 Km2
- Kabupaten Pulang Pisau dengan Ibukotanya Pulang Pisau luas wilayah sekitar 8.997 Km2
- Kabupaten Barito Selatan dengan Ibukotanya Buntok luas wilayah sekitar 8.830 Km2
- Kabupaten Barito Timur dengan Ibukotanya Tamiang Layang luas wilayah sekitar 3.834 Km2
- Kabupaten Barito Utara dengan Ibukotanya Muara Teweh luas wilayah sekitar 8.300 Km2
- Kabupaten Murung Raya dengan Ibukotanya Puruk Cahu luas wilayah sekitar 23. 700 Km2
- Kota Palangka Raya dengan Ibukotanya Palangka Raya luas wilayah sekitar 2.400 Km2
- Islam
- Kristen Protestan
- Katolik
- Hindu Bali
- Budha
- Hindu Kaharingan
6. Bahasa daerah (lokal) Yang Digunakan Di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat pada 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang meliputi 9 bahasa dominan dan 13 bahasa minoritas, yaitu:
- Bahasa dominan :
- Bahasa Melayu
- Bahasa Banjar
- Bahasa Ngaju
- Bahasa Manyan
- Bahasa Ot Danum
- Bahasa Katingan
- Bahasa Bakumpai
- Bahasa Tamuan
- Bahasa Sampit
- Bahasa kelompok minoritas :
- Bahasa Mentaya
- Bahasa Pembuang
- Bahasa Dusun Kalahien
- Bahasa Balai
- Bahasa Bulik
- Bahasa Mendawai
- Bahasa Dusun Bayan
- Bahasa Dusun Tawoyan
- Bahasa Dusun Lawangan
- Bahasa Dayak Barean
- Bahasa Dayak Bara Injey
- Bahasa Kadoreh
- Bahasa Waringin
- Bahasa Kuhin (bahasa daerah pedalaman Seruyan Hulu)
Arsitektur Rumah Betang di Tumbang Anoi merupakan rumah panjang suku Dayak Ot Danum di perhuluan sungai Kahayan. Arsitektur Rumah Balai Bini di Kumai, salah satu tipe Rumah Baanjung yang merupakan hunian keluarga inti dalam rumah sendiri-sendiri pada masyarakat pesisir Kalimantan Tengah.
Gambar : Rumah Betang Kalimantan
Tengah
- Seni Musik
Chordophone
Kacapi & Rebab
Idiophone
Berbagai jenis Gong & Kangkanung
Membranophone
Berbagai jenis Kendang (Gandang)
Katambung
- Seni Vokal
Karungut, Kandan, Mansana, Kalalai Lalai, Ngendau, Natum, Dodoi, Marung.
- Tarian
Tari Hugo dan Huda, Tari Putri Malawen, Tari Tuntung Tulus dari Barito Timur, Tari Giring-giring, Manasai, Tari Balian Bawo, Tari Balian Dadas, Manganjan
- Seni Kriya
- Seni Pahat patung Sapundu
- Seni lukis
- Tatto
- Anyaman
- Seni dari bahan Getah Nyatu
- Upacara Adat
- Wadian
- Upacara Tiwah (upacara memindahkan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
- Wara (upacara pemindahan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
- Balian (upacara atau prosesi pengobatan)
- Potong Pantan (upacara peresmian atau penyambutan tamu kehormatan)
- Mapalas (upacara membuang sial atau membersihkan diri dari malapetaka)
- Ijambe (upacara pemindahan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
-
Seni bela diri
– Kuntau
-
Pakaian Adat dan Pakaian Pengantin
8. Orang Dayak Mengenal Tiga Relasi Yang Benar-Benar Harus Dijaga Keharmonisannya, Yaitu :
1. Hubungan manusia dengan Ranying Hatalla. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit.
2. Hubungan manusia dengan manusia lainnya baik secara kelompok, maupun individu. Hatamuei Lingu Nalata. Artinya saling kenal mengenal, tukar pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong. Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. Artinya berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati oleh Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati kebesaran Tuhan.
3. Hubungan manusia dengan alam semesta (Ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan sempurna adalah manusia. Oleh karena itu manusia wajib menjadi suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban- keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla. Dengan demikian, segala mahluk semakin menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut disembah. Alam merupakan suatu tatanan harmoni, dan terjadinya keharmonisan merupakan tanggung jawab manusia).
Sumber : dayantiblogs.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar