Maqam / Kubah Kiayi Gede
Peta Perjalanan Kiayi Gede
Pemandangan Kubah Kiayi Gede dari luar
Gerbang Maqam / Kubah
Bila ke Pangkalan Bun, rasanya orang tidak akan lengkap bila tak singgah di tempat satu ini, makam Kyai Gede alias Abdul Qadir Assegaf. Terutama pada hari Jumat, makamnya ramai dikunjungi orang, dari dalam maupun luar kota. Tujuannya, tidak lain berziarah sembari memanjatkan doa. Bedanya, di sekitar lokasi tidak tampak peminta-peminta, hanya warung-warung penjual makanan kecil yang akan meyambut para peziarah.
Sebagaimana
Kalampayan, maka tidak pas rasanya kalau tidak berziarah ke tempat ini.
Tapi memang tak seramai di Kalampayan, meski
kharismanya menurut orang-orang yang pernah berziarah ke sana, tidak
kalah dari Datuk Kalampayan.
"Sama saja,
kalau ke Banjarmasin kita pasti menyempatkan ke Kalampayan, tidak pas
rasanya kalau ke Pangkalan Bun tidak menyempatkan ziarah ke makam Kyai
Gede," aku Badariyah, seorang ibu asal Kotawaringin Lama.
Kyai Gede
adalah tokoh mula-mula penyebar agama Islam di Kotawaringin. Walau kini
telah lama tiada, pengaruhnya dalam kehidupan, sangat dirasakan
masyarakat setempat. Terbukti 90 persen lebih penduduk Kab Kobar,
beragama Islam dengan tradisi Islam yang kental. Dan berdasar catatan
sejarah, semasa pemerintahan Raja Kotawaringin pertama Pangeran Adipati
Anta Kasuma, Kyai Gede menduduki jabatan Mangkubumi kerajaan.
Kondisi
keberislaman masyarakat Kotawaringin pun akhirnya berimbas pada
kebijakan penjajah Belanda menyebarkan misi zending, pasca ibukota
kerajaan pindah dari Kotawaringin ke Pangkalan Bun.
Seperti
pernah diungkap Ketua MUI Kalteng KH Haderanie HN, keputusan karesidenan
Belanda membagi daerah menjadi beberapa wilayah keagamaan, Kapuas dan
Barito termasuk daerah kegiatan operasi Kristen Protestan. Sedang
Kotawaringin adalah kesultanan termasuk Pangkalan Bun yang dikuasai
Sultan beragama Islam, sehingga termasuk daerah penyebaran agama Islam.
Makamnya
Tiga Meter
Komplek
makam yang tidak jauh dari komplek Astana Al Noorsari, nampak tak
berbeda dari kubah lainnya yang mungkin pernah kita saksikan. Namun yang
satu ini terlihat kokoh dan permanen, karena baru direnovasi. Tambahan,
begitu memasuki ruangan, kita pasti langsung terkesima.
Bagaimana
tidak, antara dua makam yang terdapat di dalam kubah, ada perbedaan yang
sangat mencolok menyangkut ukuran. Jika yang satunya berukuran normal,
lainnya memiliki panjang hampir tiga meter. Dan makam berukuran lebih
panjang inilah tempat persemayaman terakhir Kyai Gede, tokoh penyebar
agama Islam di Kotawaringin.
"Kuburannya
memang panjang sekali, tidak seperti orang pada umumnya, sekitar tiga
meteran. Sedang kubur yang satunya adalah makam salah seorang pengikut
setianya," ujar pengurus kubah, Abdullah Sani.
Itu pun
imbuhnya, berdasar cerita posisi tubuh Kyai Gede saat dimasukkan dalam
peti dan liang lahat, harus dilipat sampai tiga kali agar muat. Bahkan
seperti penuturan Ahmad Yusuf (60 th) pemelihara Astana Al Noorsari,
jarak antara kedua puting susu Kyai Gede tidak kurang dari tujuh kilan
atau setara 1,5 meter.
Itulah,
karena ukuran tubuhnya yang tinggi besar, masyarakat percaya kalau
Masjid Djami Kotawaringin yang hingga kini masih berdiri kokoh, adalah
buah adi karya Kyai Gede.
"Masjid
Djami berdasar cerita dibangun Kyai Gede di pedalaman, kemudian
dibawanya langsung sendiri ke Kotawaringin," papar Abdullah Sani.
Tokoh
penyebar agama Islam yang hidup semasa dengan raja pertama Kotawaringin,
Pangeran Adipati Anta Kasuma, memperkenalkan Islam hingga ke pedalaman
dan hulu-hulu sungai. Bahkan menurut buku "Sekilas mengenang lahirnya
Kerajaan Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan
Humas dan Penerangan Setwilda Kobar 2001, Kyai Gede sudah lebih dahulu
berada di daerah ini ketika Pangeran Adipati dan rombongan masih
berusaha membangun kota baru.
Berdasar
penuturan Gusti Rasyidin yang masih keturunan Raja Kotawaringin ke VII
Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, Kyai Gede juga
dianggap berperan dalam proses pembentukan dan pendirian kerajaan.
"Menurut
Kyai Gede, biar rakyat tidak membayar upeti lagi ke Kerajaan Banjar,
baiknya mereka mendirikan kerajaan atau kesultanan," ujar Rasyidin. Dan
peran Kyai Gede oleh Pangeran Adipati sangat dihargai sehingga kemudian
menduduki jabatan sebagai Mangkubumi kerajaan hingga wafatnya yang
diperkirakan tahun 920-an H.
Namun
menyangkut asal muasal Kyai Gede, ada dua versi sejarah yang sampai ke
masyarakat. Versi pertama persis seperti yang dipercaya masyarakat umum
dan disampaikan Abdullah Sani juga tertera di dalam kubah, mengatakan
Kyai Gede berasal dari Demak dan masuk ke Kotawaringin tahun 1595. Versi
lainnya, tokoh ini murni penduduk asli Kotawaringin, bukannya berasal
dari Demak.
Berdasar
catatan sejarahnya, Abdullah Sani memaparkan kalau Kyai Gede adalah
ulama yang berasal dari Demak. Namun karena sikap membangkangnya,
akhirnya diusir dan dibuang dari kerajaan. Oleh Raja Demak ketika itu,
Kyai Gede beserta pengikutnya dilarang melakukan peperangan pada hari
Jumat.
Namun perintah raja ini malah tak
diindahkan. Ketika melakukan peperangan, pasukannya kalah. Akhirnya dia
harus menanggung konsekuensinya, di buang jauh dari kerajaan dan
akhirnya terdampar di Kerajaan Banjar setelah sebelumnya sempat melalui
Gresik.
Pada masa itu, kerajaan Banjar dibawah kekuasaan
Pangeran Suriansyah yang sebelum masuk Islam bergelar Pangeran
Suryanata. Oleh Pangeran Suriansyah, Kyai Gede dengan didampingi khatib
Dayan diutus untuk menyebarkan Islam ke Kotawaringin Barat, kala itu
tahun 1595 M.
Dengan
pengikut tak kurang dari 40 orang disertai khatib Dayan, berangkatlah
Kyai Gede menyusuri Sungai Arut hingga ke pedalaman Sungai Lamandau dan
Balantik, Nanga Bulik, Sukamara. Dalam perjalanannya menyebarkan Islam,
akhirnya Kyai Gede bertemu dengan Pangeran Adipati Anta Kasuma putra
Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar. Selanjutnya berdirilah
kerajaan Kotawaringin dengan Kyai Gede sebagai Mangkubumi pertamanya
mendampingi Pangeran Adipati Anta kasuma.
"Ini dapat
dibuktikan dengan adanya tulisan berbahasa Jawa yang tertera pada beduk
yang ada di Masjid Djami Kotawaringin," jelas Abdullah Sani.
Sementara
versi lain, seperti dipaparkan Gusti Djendro Suseno, Kyai Gede tidak
lain adalah Kyai Gade putra asli Kotawaringin, bukan berasal dari Demak.
Dari catatan sejarah yang dimilikinya, Kyai Gade dan Pangeran Adipati
Anta Kasuma keberadaannya tidaklah sejaman.
"Berabad-abad
jaraknya, dan ini bisa dibuktikan dengan penelusuran sejarah mulai
Sultan Suriansyah berkuasa yang kemudian katanya mengutus Kyai Gede ke
Kotawaringin," jelas Djendro Suseno. Dan dia tak menampik kalau Masjid
Djami Kotawaringin dapat dijadikan bukti keberadaan Kyai Gede atau Gade.
Masjid yang menurutnya memang dibangun Kyai Gede, benar memiliki sebuah
beduk bertuliskan huruf Jawa.
"Kebetulan
saya bisa membaca huruf Jawa, dan terbukti kalau Kyai Gade tidaklah
sejaman dengan Pangeran Adipati Anta Kasuma, Raja pertama Kerajaan
Kotawaringin," ujar Djendro yang juga masih keturunan Kerajaan Mataram
dari garis ibu.
Dan bukti
lain lanjutnya, berdasar kebiasaan, seorang ulama atau penyebar agama
Islam di daerah ini biasa disebut "Syekh". Sedang gelar Kyai biasa
diperuntukkan bagi seseorang yang memiliki keahlian atau ilmu di bidang
tertentu.
Di belakang
makam Kyai Gede pun menurut Djendro, terdapat semacam batu pemujaan
terhadap nenek moyang atau menhir. Menhir ini sebagai petunjuk bahwa
dahulunya Kyai Gede adalah orang Kotawaringin yang dulunya juga penganut
agama nenek moyang. Sejalan perubahan waktu, batu pemujaan ini pun
mengalami perubahan nama sesuai dengan orang-orang sekitarnya.
"Orang
penganut agama nenek moyang menyebut lain dan yang beragama Islam
menyebut lain juga sesuai keyakinannya. Padahal obyeknya sih sama saja,"
tandasnya.
Keberadaan
Kyai Gede sebagai penduduk asli Kotawaringin semakin diperkuat dengan
banyaknya peziarah bukan dari kalangan muslim semata, tapi juga dari
penduduk yang bukan beragama Islam. Yang menurut Djendro Suseno, tentu
ini mereka lakukan karena merasa memiliki hubungan darah dengan beliau.
--------------------------------------------
Berdasar
pengetahuan yang dimilikinya, Abdullah Sani begitu meyakini kalau
sesungguhnya tokoh penyebar agama Islam di Kotawaringin ini, memang
berasal dari Demak, lain tidak.
"Beliau yang
bernama asli Abdul Qadir Assegaf berasal dari Demak, kemudian ke Gresik
dan langsung ke Kerajaan Banjar," ujar Abdullah Sani, sembari
menunjukkan peta perjalanan Kyai Gede yang terdapat di dalam kubah. Ketika ditanya apakah Kyai Gede memiliki
keturunan, Abdullah Sani yang baru beberapa bulan lalu menggantikan
penjaga makam yang telah meninggal, Kyai Gede sendiri sepengetahuannya,
begitu meninggalkan Demak dan menjejakkan kakinya di Kotawaringin, tidak
pernah lagi melangsungkan pernikahan.
"Istri
beliau ya Nyai Gede dan tetap berada di Demak ketika Kyai Gede di buang
dan kemudian terdampar di Kerajaan Banjar," tukasnya sembari menyanggah
kalau Kyai Gede pernah melangsungkan pernikahan dengan penduduk
setempat.
Sedang
keberadaan Kyai Gede selanjutnya, menurut Abdullah, bersama Khatib Dayan
dan 40 orang pengikut, oleh Sultan Suriansyah diperintahkan menyebarkan
agama Islam ke arah Barat yaitu Kotawaringin. Hingga akhirnya bertemu
Pangeran Adipati Anta Kasuma yang ingin mendirikan kerajaan dan
berdirilah Kerajaaan Kotawaringin tahun 1598 M.
"Ini dapat
dibuktikan dengan adanya tulisan berbahasa Jawa yang tertera pada beduk
yang ada di Masjid Djami Kotawaringin," jelas Abdullah Sani.
Sumber : http://hees-di-leuweung.blogspot.com/
Sumber : http://hees-di-leuweung.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar