Masjid
Kiai Gede Kotawaringin, tertua di propinsi KalimantanTengah (foto dari flickr) |
Masjid Jami Kiai Gede di Kotawaringin merupakan
masjid
tertua di propinsi Kalimantan
Tengah warisan dari kesultanan Kotawaringin. Kesultanan Kotawaringin
merupakan kesultanan pertama dan satu satunya yang pernah berdiri di
wilayah
propinsi Kalimantan
Tengah. Nama Kiai Gede yang menjadi nama masjid ini merupakan nama
dari
nama seorang Ulama dari tanah jawa yang berjasa menyebarkan Islam di
Kotawaringin.
Masjid
tua dari kayu ulin yang masih berdiri kokoh dan
menjalanakan fungsinya dengan baik hingga hari ini. Kesultanan
Kotawaringin
awalnya merupakan sebuah kepangeranan yang menjadi bagian dari
Kesultanan
Banjar di Kalimantan
Selatan. Wilayah Kesultanan kotawaringin kini masuk dalam dalam
wilayah
administrasi Kabupaten Kotawaringin
Barat yang berpusat di Kota Pangkalan Bun,
Propinsi Kalimantan
Tengah.
Masjid Kiai Gede Kotawaringin (foto dari flickr) |
Lokasi
Masjid Kiai Gede
Masjid
Kiai Gede berada di desa Kotawaringin Hulu,
Kecamatan Kotawaringin
Lama, Kabupaten Kotawaringin
Barat, Provinsi Kalimantan
Tengah. Sekitar 61km menyusuri sungai Limandau dari kota Pangkalan Bun
(ibukota
kabupaten Kotawaringin Barat), Kota Pangkalan Bun
sendiri
berjarak sekitar 449Km
dari Palangkaraya
ibukota propinsi Kalimantan
Tengah. Pada pencitraan satelit tahun 2002 di google earth lokasi
masjid
ini masih belum terlihat jelas, Selain kualitas foto penginderaan nya
yang
masih beresolusi rendah ditambah dengan gumpalan awan menutupi lokasi
nya.
Masjid Kiai Gede menghadap
Sungai yang membelah Kota Waringin Barat karena
sarana angkutan air masih menjadi pilihan utama. Kontruksi kayu pilihan
dan
pondasi panggung memungkinkan bangunan lebih tahan menghadapi perubahan
cuaca.
Arsitektur yang dipilih bersusun, meski tidak sama persis dengan Masjid
Agung
Demak, namun memiliki struktur yang sama.
View Masjid Kiai Gede Kotawaringin in a larger map
Sejarah
Masjid Kiai Gede
Masjid Jami Kiai Gede di bangun tahun 1632 Miladiyah yang
bertepatan dengan tahun 1052 Hijriyah. Saat itu Kerajaan Banjarmasin
yang
membawahi Kasultanan Kotawaringin dengan pemerintahan dipegang Pangeran
Adipati
Muda (1010-1055 H). Jauh sebelum masuknya kaum imperialis kolonial
Belanda,
Kotawaringin merupakan wilayah kerajaan/kesultanan.
Menurut catatan sejarah kota berdasarkan penanggalan
Hijriyah berturut-turut tampil sebagai pemimpin, Pangeran Adipati
Antakusuma
(893-908 H), Pangeran Mas Adipati (908-939 H), Pangeran Penembahan Anom
(939-954 H), Pangeran Prabu (954-1010 H), Pangeran Adipati Muda
(1010-1055 H),
Pangeran Penghulu (1055-1095 H), Pangeran Ratu Begawan (1095-1162 H),
Pangeran
Ratu Anom Kusuma Yuda (1162-1225 H).
Masjid Kiai Gede (foto dari panoramio) |
Pangeran Ratu Imanuddin (1225-1275) atau sekitar tahun
1814 Miladiyah pusat pemerintahan yang semula di Kotawaringin
dipindahkan ke
Pangkalan Bun. Di pusat pemerintahan yang baru ini Pangeran Ratu
Imanuddin
membangun istana yang megah dan bernama Istana Indra Kencana.
Pangeran Ahmad Hermansyah (1275-1281 H), Pangeran Anom
Kesuma Udha (1281-1323 H), Pangeran Ratu Sukma Negara (1323-1333 H).
Pangeran
Ratu Sukma Alamsyah memerintah setelah mengalami masa kekosongan pada
tahun
1914-1939 Miladiyah. Setelah mangkat beliau digantikan Pangeran Ratu
Anom
Alamsyah yang memerintah tahun 1939-1947 Miladiyah.
Masjid Kiai Gede (foto dari gustimele) |
Ketika Kerajaan Majapahit memerintah di Tanah Jawa,
daerah ini menjadi bagian wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah Majapahit
runtuh
dan digantikan Kasultanan Demak Bintoro bergantilah penguasa, demikian
halnya
dengan Kerajaan Banjarmasin pernah menguasai daerah ini.
Kiai
Gede Dan Demak Bintoro
Beberapa
sumber menyebutkan bahwa Kiai Gede adalah
seorang ulama dari Kesultanan
Demak, beliau pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik, beliau dan para pengikutnya yang
setia berangkat ke pulau Kalimantan sekitar
tahun 1591 M. Ketika itu Kasultanan Banjarmasin dibawah perintahan Sultan Mustainubillah raja
keempat yang memerintah tahun 1650-1678 Miladiyah.
Masjid Kiai Gede (foto dari detik.travel) |
Namun
demikian, sejarah yang menyebutkan bahwa Kiai
Gede merupakan utusan dari Kesultanan
Demak tampaknya perlu di klarifikasi ulang mengingat tahun
keberangkatan Kiai
Gede ke Pulau Kalimantan di tahun 1591M terjadi 23 tahun setelah
berahirnya Kesultanan
Demak. Sejarah
mencatat bahwa Kesultanan
Demak dimulai dengan dilantiknya Raden Fatah sebagai Sultan Demak
pertama pada
tanggal 12 Robiul awal tahun Caka 1425 (28 Maret 1503 M) setiap tanggal
tersebut selalu diperingati sebagai hari jadi kota Demak.
Raden
Fatah memerintah di Demak dari tahun 1478 M – 1518M,
dilanjutkan oleh Sultan kedua Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518M
–
1521M). Lalu dilanjutkan oleh Sultan Trenggono (1521M – 1546M) sekaligus
menjadi sultan terakhir di Kesultanan
Demak. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan antar anggota
keluarga
antara Aryo Penangsang dan Jaka Tingkir yang dimenangkan oleh Jaka
Tingkir. Tahun
1568 Jaka Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang
menandai
berahirnya sejarah Kesultanan
Demak.
Masjid Kiai Gede dengan
atapnya yang bersusun tiga mirip dengan Masjid Agung Demak, struktur atap seperti ini kini sudah menjadi ciri khas masjid masjid khas Indonesia (foto dari panoramio) |
Kesultanan
Banjar (selaku kesultanan Induk dari
kesultanan kotawaringin) memang pernah menjadi kesultanan bawahan dari
Kesultanan Demak di masa pemerintahan Pati Unus (1518M – 1521M) sebelum
penaklukan Malaka, Kesultanan Banjar menjadi kesultanan pembayar Upeti
kepada
Kesultanan Demak. Namun berdirinya kesultanan kotawaringin berikut
Masjid Kiai
Gede jauh setelah berahirnya era kesultanan Demak, namun memang sulit
untuk
menyimpulkan ditambah lagi dengan sejarah masjid ini yang senantiasa
dihubung
hubungkan dengan Kesultanan Demak bahkan beduk di masjid ini pun disebut
sebagai hadiah dari kesultanan Demak.
Kiai Gede dan Masjid
Kesultanan Kotawaringin
Kiai
Gede tiba di Kesultanan
Banjar pada
masa pemerintahan Sultan Banjar IV, Sultan
Mustain Billah bin Sultan
Hidayatullah (1595-1642). Namun lagi lagi terdapat selisih antara tahun
keberangkatan
Kiai Gede di tahun 1591M dengan masa kekuasaan Sultan Mustain Billah bin
Sultan
Hidayatullah 1595-1642. Namun semua sumber menyebutkan bahwa kedatangan
Kiai
Gede di Kesultanan Banjar di Masa Kekuasaan Sultan Mustain Billah.
Salah satu sisi masjid Kiai Gede (foto dari panoramio) |
Sulit
untuk menyimpulkan atau menduga duga, apakah
memang butuh waktu 4 tahun untuk menempuh perjalanan laut dari Demak ke
Banjarmasin, atau memang beliau dan rombongan tidak langsung menuju
Banjarmasin
tapi singgah dan menetap dulu ke beberapa tempat yang lain atau mungkin
ada hal
lain yang dapat menjelaskan selisih angka tahun tersebut.
Disebutkan
bahwa kedatangan Beliau diterima dengan
baik di Kesultanan Banjar. Sultan
Banjar menugaskan
Kiai
Gede untuk menyebarkan ajaran Islam di Kotawaringin, sekaligus merintis
pendirian
sebuah kasultanan baru. Kelak Kiai Gede yang berjasa
menyebarkan ajaran Islam mendapat kedudukan sebagai Adipati di
Kotawaringin
dengan pangkat Patih Hamengkubumi yang bergelar
Adipati Gede Ing
Kotawaringin.
Masjid
Kiai Gede kini sudah menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi dibawah UU No. 5 Tahun 1992 |
Bersama para pengikutnya Kiai Gede membangun Kotawaringin
dari belantara menjadi sebuah kawasan pemukiman, berawal dari 40 orang
yang
dikirim dari Kasultanan Banjarmasin terus berkembang dan sampai sekarang
menjadi salah satu daerah hunian yang maju. Setelah pembangunan cukup
untuk
sebuah kawasan pemukiman tahun 1680 Miladiyah ketika pemerintahan
dipegang
Pangeran Adipati Antakusuma, Kiai Gede dikukuhkan menjadi adipati yang
berkedudukan di Kotawaringin. Sejak saat itu perkembangan masyarakat
muslim terus
maju sampai sekarang menjadi salah satu wilayah pemukiman yang terus
berkembang.
Arsitektur khas
Masjid Jami Kiai Gede terbuat dari bahan kayu pilihan,
kayu ulin yang memungkinkan bertahan untuk jangka waktu lama. Pondasi
bangunan
dirancang menggunakan bahan yang tahan cuaca, untuk menghindari lapuk
dimakan
usia tiang-tiangnya tidak ditanam melainkan diletakkan di atas mangkuk
terbuat
dari kayu ulin, khas Kalimantan.
Masjid Kiai Gede (foto dari YAMP) |
Bangunan
masjid dikelilingi pagar kayu setinggi ± 1,25
cm, berdiri pada halaman seluas 900 m2. Denahnya berbentuk bujur sangkar
berukuran 15,5 × 15,5 m, dengan tipe joglo. Masjid ini merupakan rumah
panggung/kolong dengan ketinggian ± 1,5 m dari permukaan tanah. Lantai
dan
dinding terbuat dari kayu ulin. Untuk masuk ke dalam ruangan
dipergunakan
tangga yang terbuat dari kayu di samping bangunan. Di dalam bangunan
terdapat
36 buah tiang yang terdiri dari tiga jenis yaitu:
1.Tiang
20 ini sebagai penguat dinding/penyangga.
Tiang utama (soko guru) berjumlah empat buah terdapat di tengah ruangan.
Bentuk-nya segi delapan dan pada keempat sisinya penuh dengan ukiran
ber-matif
sulur-sulur dan spiral.Tiang berdiri di atas umpak yang ber-bentuk
kelopak
bunga teratai.
Masjid
Kiai Gede di Kotawaringin Lama dengan pagar kelilingnya yang juga terbuat dari kayu (foto dari timeinholiday) |
2.Tiang
dengan bentuk silinder (bulat) berjumlah 12
buah ukuran-nya lebih kecil dari tiang soko guru, tidak berukir. Pada
bagian
tengah bulatannya lebih kecil dari bagian bawah dan atas, juga. berdiri
di atas
umpak lebih sederhana dari umpak sokoguru. Letaknya mengelilingi tiang
sokoguru.
3.Tiang
yang berjumlah 20 buah merupakan deretan ke
dua mengelilingi sokoguru. Bentuk bulat dan lebih kecil dari tiang 12,
letaknya
menempel pada dinding dalam masdjid. Fungsi tiang 20 ini sebagai penguat
dinding/penyangga.
Selain
tiang dalam bangunan utama terdapat mihrab dan
mimbar. Sebagai pelengkap masjid dalam ruangan juga terdapat bedug yang
merupakan hadiah dari kerajaan Demak. Ukuran panjang 161 cm dengan garis
tengah
58 cm dan digantung dengan rantai besar. Bagian bawahnya terdapat
tulisan Jawa
Kuno dengan tahun Saka. Pada bagian belakang terdapat bangunan tambahan
berukuran 5 × 12 m, tepat di tengah-tengah bangunan induk. Fungsi
bangunan mi
sebagai tempat jamaah yang terlambat datang. Sebenarnya bangunan ini
untuk jamaah
wanita.
Masjid
Kiai Gede Kotawaringin lengkap dengan tiga papan namanya foto dari hees-di-leuweung |
Dinding
terbuat dan kayu dengan lubang angin di bagian
atasnya. bangunan mempunyai atap seperti atap puncak bangunan induk. Di
muka
masjid ada bangunan kecil untuk tempat wudhu. Pelengkap masjid lain
adalah jam
penunjuk waktu shalat yang terbuat dari kayu dan berupa tugu. Atap
bangunan
merupakan atap tumpang tiga dari bahan sirap. Di antara tingkatan atap
terdapat
dinding dari kayu. Pada atap ke tiga bentuk seperti kerucut dan di
puncaknya
terdapat hiasan bunga tiga tangkai. Di bagian bawah atap, bagian
ujungnya ada
hiasan sulur. Antara atap ke dua dan ke tiga pada ujung bawah dinding
atap
tingkat dua terdapat tiang sebagai penyangga atap teratas dilengkapi
alat
pengeras suara untuk mengumandangkan adzan.
Perbaikan Masjid Kiai Gede
Masjid
Kiai Gede telah mengalami tiga kali perbaikan
yaitu tahun 1951 dilakukan penambahan bagian teras, atap sirap dengan
dana
swadaya dari masyarakat setempat dan dibantu oleh para jamaah masjid.
Perbaikan
kedua pada bagian mimbar tahun 1968. Tahun anggaran 1980/1981-1985/1986
dilaksanakan pemugaran oleh Bidang Permuseuman Sejarah dan Keprubakalaan
Kantor
Wilayah Depdikbud Provinsi Kalimantan Tengah melalui Proyek Pemugaran
dan
Pemeliharaan peninggalan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Tengah.
Referensi
aci.detik.travel - Kesultanan
Islam Pertama di Kalimantan
Tengah
kangluk.wordpress.com – awal
sejarah
demak bintoro
id.wikipedia – kesultanan
demak
fatawisata.com – masjid
kiai
gede
Sumber : http://bujangmasjid.blogspot.com/2012/02/masjid-kiai-gede-kotawaringin-tertua-di.html
Sumber : http://bujangmasjid.blogspot.com/2012/02/masjid-kiai-gede-kotawaringin-tertua-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar