BAKAR! Bakar dan bakar! Kira-kira itulah semangat para petani yang
kini mempersiapkan lahan pertanian mereka. Kira-kira itulah ide terbaik
para pemilik lahan yang hendak menggunakannya untuk membangun permukiman
atau usaha lainnya.
Bakar, bakar dan bakar! Pemerintah melalui berbagai instansi seperti
Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, BKSDA, Badan Lingkungan Hidup,
Manggala Agni, bagai macan ompong. Mengapa? Karena tidak digubris warga.
Warga tetap nekad membakar lahan. Ada yang membakar untuk mempersiapkan
lahan pertanian. Ada yang untuk membangun pekarangan dan keperluan
lain. Banyak alasan mengapa warga harus membakar lahan. Meski banyak
aturan, tetapi tak ada yang mempan.
Dan ketika kabut asap menyelimuti bandar udara, para pejabat baru
berteriak. Ketika kabut asap menyekap permukiman, semua orang menghujat.
Kabut asap bikin sesak nafas! Kabut asap bikin asma kambuh. Bikin pula
celaka para pengendara di jalan raya, bikin malapetaka di sungai dan
udara.
Yang pasti para pembakar lahan adalah orang yang punya nyali.
Nyali nekad. Nyali tak peduli. Dan, nyali tanpa nurani. Pembakar bisa
saja orang perorangan. Tetapi bisa pula orang-orang dari perusahaan.
Sayangnya, kendali yang efektif tidak pernah ada. Penegakan aturan
(law enforcement <>) tidak benar-benar bergigi. Sehingga
tak ada kapok, tak ada jera.
Lima tahun silam, Pemprov Kalteng
melansir kabijakan stop asap, stop bencana, dan stop kebakaran lahan.
Gubernur Kaltengpun mengeluarkan Pergub Nomor 52/2008 tentang Pedoman
Pembukaan Lahan dan Pekarangan.
Tetapi kebijakan dan pergub tadi seperti raib ditelan waktu. Kini
semua instansi tampak gamang. Semua pejabat tampak abu-abu. Tidak jelas
dan tidak tegas sikapnya.
Sebenarnya, tahun lalu, Kapolda Kalteng
waktu itu Brigjen Damianus Jacky, menginstruksikan kepada aparat
kepolisian untuk menangkap pelaku pembakaran lahan. "Kami akan menindak
tegas para pelaku pembakaran lahan. Dan kalau perlu menangkap dan
memrosesnya sesuai prosedur hukum yang berlaku," tegas Jacky.
Tetapi, Jacky diganti. Kebijakannya menghilang. Dan, para pemangku kepentingan kembali gamang.
Yang justru terjadi adalah gubernur setiap tahun rajin mengajukan
anggaran hujan buatan. Tahun lalu, dialokasikan dana Rp10,3 miliar
untuk membeli garam bahan baku mencipta hujan buatan itu. Dan tahun ini
gubernur juga mengajukan dana yang sama.
Sebenarnya kalau sosialisasi benar, law enforcement<>
benar, Rp10,3 miliar uang rakyat bisa dihemat. Dan meski program itu
sukses, tetapi boleh dong kita bertanya. Benarkah anggaraannya
sedemikian besar? Bisakah dijaga akuntabilitas penggunaannya? Adakah
audit BPK menelisiknya? Sebab jika salah kelola, langkah gubernur
menggarami awan di langit itu bisa seperti menggarami laut. Ludeslah
uang rakyat!
(sumber : http://www.borneonews.co.id/index.php/component/content/article/29-editorial-borneonews/23954-membakar-lahan.html)
Sabtu, 25 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar