Komunitas Blogger Kotawaringin Barat

Islamic Calendar

Islamic Widget

Sabtu, 25 Agustus 2012

Membakar Lahan

BAKAR! Bakar dan bakar! Kira-kira itulah semangat para petani yang kini mempersiapkan lahan pertanian mereka. Kira-kira itulah ide terbaik para pemilik lahan yang hendak menggunakannya untuk membangun permukiman atau usaha lainnya.
Bakar, bakar dan bakar! Pemerintah melalui berbagai instansi seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, BKSDA, Badan Lingkungan Hidup, Manggala Agni, bagai macan ompong. Mengapa? Karena tidak digubris warga. Warga tetap nekad membakar lahan. Ada yang membakar untuk mempersiapkan lahan pertanian. Ada yang untuk membangun pekarangan dan keperluan lain. Banyak alasan mengapa warga harus membakar lahan. Meski banyak aturan, tetapi tak ada yang mempan.
Dan ketika kabut asap menyelimuti bandar udara, para pejabat baru berteriak. Ketika kabut asap menyekap permukiman, semua orang menghujat. Kabut asap  bikin sesak nafas! Kabut asap bikin asma kambuh. Bikin pula celaka para pengendara di jalan raya, bikin malapetaka di sungai dan udara.
Yang pasti para pembakar lahan adalah orang yang punya nyali. Nyali nekad. Nyali tak peduli. Dan, nyali tanpa nurani. Pembakar bisa saja orang perorangan. Tetapi bisa pula orang-orang dari perusahaan.
Sayangnya, kendali yang efektif tidak pernah ada. Penegakan aturan (law enforcement <>) tidak benar-benar bergigi. Sehingga tak ada kapok, tak ada jera.
Lima tahun silam, Pemprov Kalteng melansir kabijakan stop asap, stop bencana, dan stop kebakaran lahan. Gubernur Kaltengpun mengeluarkan Pergub Nomor 52/2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan.


Tetapi kebijakan dan pergub tadi seperti raib ditelan waktu. Kini semua instansi tampak gamang. Semua pejabat tampak abu-abu. Tidak jelas dan tidak tegas sikapnya.
Sebenarnya, tahun lalu, Kapolda Kalteng waktu itu Brigjen Damianus Jacky, menginstruksikan kepada aparat kepolisian untuk menangkap pelaku pembakaran lahan. "Kami akan menindak tegas para pelaku pembakaran lahan. Dan kalau perlu menangkap dan memrosesnya sesuai prosedur hukum yang berlaku," tegas Jacky.
Tetapi, Jacky diganti. Kebijakannya menghilang. Dan, para pemangku kepentingan kembali gamang.

Yang justru terjadi adalah gubernur setiap tahun rajin mengajukan anggaran hujan buatan. Tahun lalu, dialokasikan dana Rp10,3 miliar untuk membeli garam bahan baku mencipta hujan buatan itu. Dan tahun ini gubernur juga mengajukan dana yang sama.
Sebenarnya kalau sosialisasi benar, law enforcement<> benar, Rp10,3 miliar uang rakyat bisa dihemat. Dan meski program itu sukses, tetapi boleh dong kita bertanya. Benarkah anggaraannya sedemikian besar? Bisakah dijaga akuntabilitas penggunaannya? Adakah audit BPK menelisiknya? Sebab jika salah kelola, langkah gubernur menggarami awan di langit itu bisa seperti menggarami laut. Ludeslah uang rakyat! 
(sumber : http://www.borneonews.co.id/index.php/component/content/article/29-editorial-borneonews/23954-membakar-lahan.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar