Kamis, 01 April 2010
Dari Kerajaan Kotawaringin ke Swaparaja Kotawaringin
Kemunduran kerajaan Kotawaringin adalah pada saat Kerajaan Kotawaringin diserahkan kerajaan Banjar kepada Hindia Belanda. Hindia Belanda kemudian memperkuat kekuasaannya dengan berbagai monopoli dagang. Selain itu perpecahan dipihak keluarga kerajaan yang mengundang pihak Hindia Belanda untuk turut campur, ikut memperlemah kekuatan kerajaan terhadap pemerintah Hindia Belanda, serta mengurangi kewibawaan mereka terhadap rakyat. Hal ini ditambah dengan penyerahan monopoli garam kepada pihak Hindia Belanda pada tanggal 13 Agustus 1900 (Bappeda,2004:27), dan dipergunakannya uang Hindia Belanda membuat penduduk sangat tergantung kepada Hindia Belanda, serta ekonomi Hindia Belanda menjadi kuat. Akibatnya keluarga kerajaan hanya menjadi simbol saja tanpa kekuasaan.
Kekuasaan kerajaan Kotawaringin berakhir pada waktu kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat Sultan ke XIV Pangeran Ratu Anom Alamsyah dimintai kepastiannya apakah mendukung Republik Indonesia atau tidak, Sultan dalam keadaan sakit sehingga ketegasannya tidak didapat.(Bappeda,2004: 27) Mengenai masalah ini Cilik Riwut berpendapat sebagai berikut : ….Sultan menerangkan bahwa mereka berdiri di belakang blok A.B.C.D, tetapi rakyatnya tetap berdiri di belakang Republik Indonesia,karenanya rakyat mengangkat seorang yang dipandang bisa sesuai dengan kemauan rakyat.(Cilik Riwut,1993:27)
Pendapat lain juga diutarakan oleh Lontaan dan Sanusi tentang berakhirnya kerajaan Kotawaringin adalah sebagai berikut : ….pada tanggal 20 oktober 1948 telah terbentuk Dewan Perwakilan sendiri. Rakyat Kotawaringin dan sekitarnya dengan suara bulat, melalui Dewan tersebut menyerukan, hanya ingin menggabungkan diri dengan Pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.(Lontaan dan Sanusi,1976:53-54). Sedangkan pendapat bahwa Sultan ke XIV tidak bersedia berdiri di belakang Republik Indonesia dibantah oleh kerabat kerajaan. Bukti bahwa Sultan berpihak kepada kemerdekaan Indonesia adalah dengan memberikan lebih dari 300 pucuk senapan kepada para pejuang, memberikan meriam-meriam untuk melawan pemerintahan Hindia Belanda yang ingin kembali lagi setelah Perang Dunia II selesai. Kenyataan bahwa Sultan Kotawaringin mendukung Presiden RI tidak dapat dibantah lagi karena beliau menghadap Presiden RI untuk menyatakan tekadnya mendukung RI. Oleh Bung Karno Sultan ke XIV diangkat menjadi wedana di daerah Sukorejo Jawa Tengah. (Bappeda,2004:28)
Pada masa kemerdekaan yakni sesudah Konperensi Meja Bundar (KMB), Pada tanggal 14 Agustus 1950 Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RIS atas 10 Propinsi (Propinsi Administratif), satu diantaranya adalah Propinsi Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 Karesidenan yakni Karesidenan Kalimantan Barat, Karesidenan Kalimantan Selatan dan Karesidenan Kalimantan Timur. Eks Daerah Otonomi Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi 3 Kabupaten yaitu : Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito dan Kabupaten Kotawaringin yang bersama-sama Daerah Otonomi Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara, digabungkan kedalam Karesidenan Kalimantan Selatan. Menurut Irawan Soejito meskipun tergabung ke dalam Karesidenan Kalimantan Selatan, Swapraja Kotawaringin tetap berdiri sendiri sebagai Landschap dengan. Dalam perkembangan berikutnya Kabupaten Kotawaringin kemudian tergabung kedalam Propinsi Kalimantan Tengah dan terbagi menjadi dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat dengan Ibukota Pangkalan Bun dan Kabupaten Kotawaringin Timur dengan Ibukotanya Sampit. Hal ini diawali dengan terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah tahun 1957 melalui Undang-Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, Lembar Negara Nomor 53 Tahun 1957 dan Tambahan Lembar Negara Tahun 1957 Nomor 1284 tertanggal 23 Mei 1957. Pembentukan Kabupaten Kotawaringin Barat itu sendiri berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor :Up.34/41/24, tanggal 28 Desember 1957 dan SK. Nomor : Des.52/12/2.206, tanggal 22 Desember 1959 Tentang Pembagian Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat.
Perubahan sistem pemerintahan yang terjadi di kesultanan Kotawaringin, tentunya juga membawa perubahan dalam peranan para keturunan Sultan. Hal ini membawa perubahan pada kedudukan keturunan Sultan di dalam kelompok masyarakat di kota Pangkalan Bun. Perubahan pada kedudukan keturunan Sultan yang dimaksud adalah kedudukan sosial. Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dan masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.(Soerjono Soekanto,2005:288)
Dalam kepustakaan nasional dan daerah sangat kurang tentang kesultanan Kotawaringin, padahal di lain sisi kesultanan Kotawaringin merupakan objek kajian yang sangat menarik untuk diteliti. Hal ini tidak lepas dari keberadaan kesultanan Kotawaringin tersebut sebagai satu-satunya kerajaan yang pernah ada di provinsi Kalimantan Tengah. Menurut Slamet Mulyana Kotawaringin merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit di jaman pemerintahan Hayam Wuruk, ini diuraikan dalam kitab Negara Kertagama pupuh XII dan XIV. Nama Kotawaringin sendiri menurut Yusuf dan Kassu berasal dari nama pohon Beringin yang banyak tumbuh di daerah ini. (Bappeda,2004:6) Untuk itu penulis merasa sangat tertarik untuk menggali hal ini lebih dalam, terutama tentang peranan keturunan Sultan pada saat berakhirnya kerajaan tersebut. Sehingga dapat diketahui hubungan yang terjalin antara keturunan Sultan dengan masyarakat biasa pasca perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan yang bercorak Islam ke sistem pemerintahan swapraja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar