Komunitas Blogger Kotawaringin Barat

Islamic Calendar

Islamic Widget

Senin, 19 April 2010

Pangkalan Bun Park


Peninggalan Sejarah




Tiang Bendera (atas)
Kompleks Makam Raja - raja (Bawah)

Profil Bupati Kobar



Nama DR. H. Ujang Iskandar, ST,M.Si
Alamat Jl. H.M Rafi’i Madurejo Pangkalan Bun Kab. Kotawaringin Barat
Agama Islam

KELUARGA
Istri Hj. Yustina Ismiati
Anak - Anak :
Barry Iskandar, Bryan Iskandar, Devito Iskandar, Julio Iskandar

PENDIDIKAN
SD Negri I Pangkalan Bun
SMP Negeri I Pangkalan Bun
SMA Negeri Pangkalan Bun
Universitas Islam Sultan Agung Semarang
S2 UGM Yogyakarta
S3 UGM Yogyakarta

PENGALAMAN ORGANISASI
Bendahara DPC NU Kotawaringin Barat Tahun 2004
Waket II DPD Kadin Kotawaringin Barat Tahun 1999
Anggota BPC Gapensi Kotawaringin Barat Tahun 2002
Penasehat DPD KNPI Kotawaringin Barat Tahun 2002
Waket DPD HIPMI Kotawaringin Barat Tahun 1999
Waket DPC Pemuda Pancasila Kotawaringin Barat Tahun 1995

PENGALAMAN KERJA
Direktur Utama PT. Utama Cipta Karya Pangkalan Bun tahun 1993 - 2001
Direktur CV Asta Karya Tahun 2002

Jadikan Kobar Ikon Kota Adipura






Pangkalan Bun – Obsesi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat (Pemkab Kobar) untuk kembali meraih piala Adipura keempat kalinya bukan tanpa alasan. Bupati Ujang Iskandar mengganggap jika ini terwujud akan mengangkat harkat dan martabat Bumi Maruntung Batu Aji di level nasional.
Menurut bupati, obsesi pemerintah dengan adipura bukan sekedar pialanya saja, melainkan multi player effect yang ditimbulkannya. Salah satunya Kobar akan memiliki brand “Kota Adipura”. “Multi player effect ini yang akan kita lanjutkan melalui optimalisasi sektor pariwisata pada 2010 ini,” ujar Bupati.
Bupati begitu meyakini kalau dengan brand “Kobar Kota Adipura” kian memudahkan program pemerintah sendiri dalam menarik dan mengundang para turis dari luar, baik itu turis asing maupun turis domestik. Sebab lanjutnya, siapapun yang ada ingin mengunjungi Kobar pada dasarnya motivasi yang dikejar adalah menambah devisa daerah yaitu kian membaiknya pendapatan asli daerah (PAD).
Selain itu, dengan brand “Kobar Kota Adipura” ini juga memuluskan strategi kebijaksanaan pemerintah daerah dalam mengundang para investor supaya ikut menanamkan modalnya di Bumi Marunting Batu Aji ini.
Dengan demikian, pembangunan diberbagai sendi bisa kian bangkit dan optimal, lalu pertumbuhan perekonomian daerah makin signifikan dan mempengaruhi pula dalam upaya menyejahterakan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, bupati berharap dalam menilai Adipura supaya melihat dari perspektif yang luas yaitu dari segala sisi kacamata sehingga tidak mudah pesimistis, melainkan optimistis sama-sama membangun daerah.
“Perlu suatu sikap kedinamisan dalam membangun daerah. Supaya semua sama-sama bahu-membahu menggerakkan kepeduliannya dalam menggapai tujuan yang kita idamkan bersama. Kobar pasti jaya kalau semua satu persepsi dan satu aksi,” pungkasnya.
Sekadar diketahui rencana bupati Kobar Ujang Iskandar tampil di acara green life style Metro TV pada hari ini, kembali ditunda dan akan dijadwal ulang. (Sumber : Radar Sampit, 25 Maret 2010)

Adipura di Pangkalan Bun - Kotawaringin Barat





Saat Mendapatkan Adipura Kategori Kota Kecil

Arsel Juara Umum MTQ Ke-41 Tingkat Kobar




Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Ke-41 Tingkat Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) resmi ditutup Bupati Kobar, H. Ujang Iskandar. Kontingen Arut Selatan (Arsel) kembali menjadi juara umum dan berhak atas piala bergilir.
Kemenangan itu hasil dari penilaian yang dilakukan dewan hakim. Dari penilaian yang ditandatangani Ketua Koordinator HM Chabib dan Sekretarisnya H Yusra Marwan, Kecamatan Arsel memperoleh nilai 77 poin.
Sementara kontingen Kumai berada di peringkat kedua, Pangkalan Lada peringkat ketiga, Kotawaringin Lama peringkat keempat, Pangkalan Banteng peringkat kelima dan Arut Utara pada peringkat keenam.
Sedangkan untuk pawai taaruf, Pangkalan Banteng menjadi juara pertama dengan mengantongi nilai 1.290 kemudian Kecamatan Kumai juara dua dengan nilai 1.220 dan kontingen tuan rumah dengan nilai 1.195 berhasil menempati posisi tiga.
Bupati Kobar H. Ujang Iskandar menganggap keberhasilan MTQ tidak hanya milik atau kerja panitia pelaksana saja, akan tetapi juga atas dukungan masyarakat Kobar umumnya. Selain itu, barometer kesuksesan bukan saja melahirkan qori dan qoriah serta hafiz dan hafizah terbaik saja, akan tetapi dapat dilihat dari hasil evaluasi sampai sejauh mana, MTQ dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang qurani dan agamis. (Sumber: Radar Sampit, 10 April 2010)

Jumat, 02 April 2010

Photoku terbaru


MTQ Ke - 14 Kotawaringin Barat




MTQ ke-41 Diikuti 367 Kafilah
Pangkalan Bun – Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-41 tingkat Kabupaten di Kecamatan Arut Selatan (Arsel), resmi dibuka Bupati Kobar, H. Ujang Iskandar di lapangan Sampuraga, Sabtu (3/4) malam. Prosesi pembukaan MTQ tersebut berlangsung meriah yang dihadiri seluruh pejabat daerah, tokoh masyarakat Kobar serta ribuan warga kota Pangkalan Bun. Suasana pembukaan berjalan lancar, yang didukung oleh suasana cuaca yang cukup cerah.
Ketua Panitia MTQ ke-41 H. Mudelan mengatakan MTQ kali ini melibatkan 367 kafilah dari enam kecamatan. Rinciannya dari Kecamatan Arut Selatan selaku tuan rumah 82 kafilah, Kotawaringin Lama 54 Kafilah, Pangkalan Lada 78 kafilah, Pangkalan Banteng 59 kafilah serta dari kecamatan Kumai sebanyak 56 kafilah.
Adapun bidang yang menjadi materi perlombaan meliputi tartil quran, tahfizh, tilawah, tafsir quran, fahmil quran, khatil quran dan seni qasidah rebana dan kolaborasi. Dana pelaksanaan MTQ ke-41 tersebut berasal dari APBD Kobar, ditambah dengan sumbangan perusahaan-perusahaan swasta yang ada di Kobar serta swadaya masyarakat yang ada di arsel.
Sementara Bupati Kobar Ujang Iskandar mengatakan acara tersebut hendaknya jangan dijadikan sekadar perlombaan membaca alquran semata. “Lebih dari itu adalah proses memahami dan mengamalkan isi dan makna alquran secara mendalam disetiap kehidupan,” jelas Ujang dalam sambutan.
Bupati juga menghimbau para tokoh agama dan tokoh masyarakat saling bekerjasama dalam menjalin kebersamaan dan persatuan antar sesama umat Islam dan antar sesama manusia. Menurutnya dengan usaha seperti ini maka suasana kondusif di Kobar akan terus dipertahankan dalam setiap kondisi.
Sebagai pertanda dibukanya acara MTQ ke-40 tersebut, Bupati mendapat kesempatan untuk menekan tombol sirene, kemudian dimeriahkan dengan tarian masal, dan pelepasan balon ke udara. (Sumber: Radar Sampit, 5 April 2010)

Zikir Bersama Ustazd H. Haryono











Zikir ini dilaksanakan kerjasama antara Pemkab Kotawaringin Barat dengan DPC Nahdatul Ulama kotawaringin Barat yang bertempat di Stadion Sampuraga tanggal 07 Maret 2010.

NU Kobar Gelar Kobar Berzikir dan Pengobatan Massal
Pangkalan Bun – Dalam rangka memperingati maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1431 H. Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) kobar akan melaksanakan Kobar berzikir bersama Ustazd H. Haryono dari Jakarta sekaligus menggelar pengobatan massal secara gratis yang berlangsung di Stadion Sampuraga, minggu (7/3).
Ujang berharap menjelang pemilukada yang dijadwalkan 5 Juni 2010, masyarakat Kobar agar dapat menjaga dan memelihara situasi dan kondisi Kobar tetap dalam keadaan aman dan kondusif.
Ujang menekankan terkait dengan pelaksanaan pemilukada agar masyarakat berpatisipasi secara aktif, serta mendukung sepenuhnya, sehingga pelaksanaan pemilukada baik di Kobar maupun di Kalteng berlangsung sukses, aman dan terkendali.
Ketua Panitia Kobar Berzikir Bahrudin SE kepada Kalteng Pos Rabu (3/3) mengatakan, dilaksanakannya kegiatan dimaksud tujuan utamanya sebagai rangkaian kegiatan peringatan maulid nabi besar Muhammad SAW. “Dengan Kobar Berzikir diharapkan suasana dan kondisi masyarakat Kobar menjelang Pemilukada tetap bersatu, menjalin rasa kebersamaan, menjaga kedamaian, sehingga dalam pemilukada Kobar berjalan dengan sukses,” ujarnya.
Untuk menyosilisasikan Kobar Berzikir dan pengobatan massal secara gratis terang Bachrudin, pihaknya mengadakan siaran mobil keliling, dan memberikan informasi di media elektronik (radio lokal) kepada masyarakat Kobar. (sya/rud) (SUMBER Kalteng Pos tanggal 5 Maret 2010)

Zikir Bersama Ustazd Arifin Ilham






Zikir ini dilaksanakan pada tanggan 26 Januari 2010, di Masjid Besar Sirajul Muhtadin Kel. Baru Kec. Arsel Kab. Kotawaringin Barat - Pangkalan Bun.

Kamis, 01 April 2010

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Beberapa Bidang Sebelum dan Sesudah Tahun 1950-an

Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sebelum Tahun 1950
Peranan Di Bidang Pemerintahan
Kesultanan Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan satu kali perpindahan ibu kota dari Kotawaringin Lama ke Sukabuni Indra Sakti yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Sultan pertama Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah dari tahun 1615-1630 M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda : 2004 : 9-10)
Selain pembangunan fisik sultan juga menentukan batas-batas wilayah Kesultanan Kotawaringin yaitu :
1) Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarang Pruya (Kerajaan Sintang).
2) Sebelah timur berbatasan dengan sengai Mendawai.
3) Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Simbar (Kerajaan Matan).
4) Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. (Bappeda : 2004 : 10)
Sultan kedua adalah Pangeran Mas Adipati yang memerintah dari tahun 1630-1655 M dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudia digantikan oleh Dipati Gading. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah dari tahun 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin yang keempat adalah Pangeran Prabu yang memerintah dari tahun 1682-1699 M dengan Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Dipati Tuha yang memerintah dari tahun 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra. Sultan Kotawaringin yang keenam adalah Pangeran Penghulu yang memerintah tahun 1711-1727 M. Keseluruhan sultan dari yang kedua hingga yang keenam dimakamkan di Kotawaringin, penulis sendiri tidak menemui penjelasan yang banyak tentang sultan kedua hingga yang keenam. Menurut Lontaan dan Sanusi pada masa-masa itu kesultanan berjalan lancer, aman dan tentram tidak ada gangguan dari manapun.
Sultan Kotawaringin yang ketujuh adalah Pangeran Ratu Bengawan yang memerintah dari tahun 1727-1761 M. Pada masa pemerintahan beliau Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan dengan melimpahruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin di pasar regional. Sistem pemerintahan telah menugaskan beberapa menteri yang mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan lain sebagainya. (Bappeda : 2004 : 11) Namun pada masa pemerintahan belaiu inlah Kesultanan Kotawaringin diserahkan Kerajaan Banjar ke Hindia Belanda. Mulai saat itulah pertanggungjawaban pemerintahan harus dilakukan kepada Kontrolir Hindia Belanda.
Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai sultan kedelapan, beliau memerintah dari tahun1761-1805 M dengan Mangkubumi Pangeran Tapa Sana. Pada masa beliau di bangun pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang) sebagai tempat mendidik putra-putri kesultanan.
Pada masa Sultan kesembilan Pangeran Ratu Imanudin ibu kota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan ketepian sungai Arut yang diberi nama Sukabumi Indra Sakti yang kemudian dikenal sebagai Pangkalan Bu’un. (wawancara dengan Gusti Awwannur : selasa 20 November 2007) Beliau memerintah dari tahun 1805-1841 M dibantu oleh Mangkubumi Pangeran Adipati Mohamad Saleh. Pada masa pemerintahannya di bangun Benteng Batu Beturus di sungai Lamandau dan membangun pertahanan di teluk Kumai, serta parit pertahanan di Sukamara untuk mengatasi bajak laut. Beliau juga membangun Istana Kuning dan rumah Raden Ratna Wilis untuk permaisuri beliau.
Sultan Kotawaringin yang kesepuluh adalah Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku Syukma Negara yang memerintah dari tahun 1847-1862 M. Setelah Sultan kesepuluh wafat beliau digantikan dengan Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan kesepuluh menjadi sultan kesebelas dari tahun 1867-1904 M dengan dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata, pada masa beliau ini diselesaikan pembangunan mesjid Jami dan di bangun Rumah Mangkubumi.
Setelah beliau wafat terjadi perebutan tahta karena beliau tidak memiliki anak laki-laki, akhirnya pihak Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve engambil keputusan yang berhak naik tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma Negara naik tahta kembali yang memerintah dari tahun 1904-1913 M dengan dibantu Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana Perabu Wijaya Menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran Mohamad Zen menjadi Penghulu.
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ketigabelas dengan Mangkubumi Pangeran Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948. Pada masa pemerintahan beliau dilakukan perluasan wilayah kesultanan sebagai berikut :
a. Di Kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan Sungai Bulin.
b. Di Kampung Raja, membuka lokasi baru untuk tempat pemukiman penduduk Kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan / ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un atau disebut juga Kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan Baru.
c. Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa, sekarang menjadi kelurahan Sidorejo. (Bappeda : 2004 : 18 )
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Kebudayaan
Di dalam bidang kebudayaan sejak Kesltanan Kotawaringin beribukota di Kotawaringin Lama hingga dipindahkan ke Pangkalan Bun para sultam-sultan yang memerintah membangun istana-istana dan bangunan yang indah seperti istana Alnursari, mesjid Jami Kotawaringin dan Istana Kuning atau Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana yang bersifat terbuka tanpa dilindungi benteng seperti di Jawa yang memiliki arsitektur gabungan antara pengaruh jawa, banjar, melayu dan dayak.
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan sepreti Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi Saudi Arabia. Dalam hasil wawancara penulis dengan Pangeran Muasdjidinsyah tanggal 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa sejak dahulu apabila ada peringatan hari-hari besar islam selalu diadakan pasar malam di Lapangan Tugu, pada saat pasar malam tersebutlah ditampilkan pertunjukan-pertunjukan kesenian khas daerah baik yang asli dari Kotawaringin maupun dari luar daerah seperti :Jepen, Tirik, Mamanda, Ludruk, Ketoprak, Ronggeng dan lain sebagainya. Mengenai orang-orang Tionghoa, pihak kesultanan sengaja mengelompokkan mereka menjadi sebuah Pecinan di seberang sungai Arut dan mereka tetap diberi kebebasan untuk mengembangkan budayanya sendiri.
Pada masa Pendudukan Jepang kesenian daerah mulai di gali kembali. Untuk itu mereka mendirikan Keimin Bunka Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan) yang bertugas menggalakkan hidupnya kesenian rakyat. Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Misalnya saja, dalam waktu singkat bermunculan kelompok-kelompok sandiwara untuk mementaskan sandiwara di desa-desa sekelilingnya. Dari segi lain dapat diambil kesimpulan bahwa niat Pemerintah Pendudukan Jepang menumbuhkan kembali kesenian tradisional adalah untuk menghibur tentara Jepang agar dapat mengobati kerinduan kepada keluarga mereka di negaranya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Ekonomi
Pada masa Pangerana Ratu Bengawan (1727-1761 M ) Kesultanan kotawaringin mengalami masa keemasan, pada masa ini hasil pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di eksfor keluar daerah. Perdagangan hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Krena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin yang di bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman di sepanjang sungai di daerah Kotawaringin Barat. Permukiman yang ada dipacu oleh domain ekonomi bukan oleh domain politik yang membentuk kota-kota agrasi seperti di Jawa. Permukiman ini menggunakan sungai sebagai alat transfortasi dan elemen primer kota sehingga Pangkalan Bun sebagai ibukota Kesultanan Kotawaringin berkembang menjadi kota perdagangan yang menggunakan sungai sebagai sarana utama.
Pada waktu sultan ke 13 bertahta sekitar tahun 1930-an, hubungan antar wilayah di muara sungai atau tepi pantai ke daerah pedalaman sudah dapat di tempuh dalam waktu lebih singkat. Ini karena adanya kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang diperbolehkan oleh pihak kesultanan untuk mengangkut barang dagangan dan penumpang.
Pada masa Pendudukan Jepang di buat pabrik-pabrik yang melibatkan kerabat istana seperti : pabrik kapal di Sukamara dan pabrik pengolahan kulit bakau di Kumai. Pembangunan bangunan-bangunan untuk kepentingan Jepang juga dilakukan, serta pembukaan kembali Lapangan Terbang yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan, Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta yaitu yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
Ketika Jepang masuk, mereka menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso. (Bappeda : 2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda : 2005 : 38).
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sesudah Tahun 1950-1960
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pemerintahan
Setelah daerah Swapraja Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950, daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Dengan berakhirnya kekuasan kesultanan, maka para bangsawan dan keturunan sultan tidak lagi memiliki jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Hanya beberapa keturunan Sultan dan bangsawaan yang sebelumnya sudah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, tetap dipekerjakan sebagai pegawai seperti gusti Hamidan, Gusti Majdhan, Gusti M. Taib dan lain-lain. Para bangsawan lainnya seperti Pangeran Aria Ningrat yang dulunya bekerja sebagai kepala distrik kembali kemasyarakat. (hasil wawancara dengan H. Tengku A. Zailani : Senin 22 November 2007)
Menurut Mastoer bin Atjil (wawancara, Jumat, 16 Nopember 2007), pada masa perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri, dan ketika itu mayoritas penduduk kedarahan raja yang kebanyakan dari kaum bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.
Daerah Swapraja Kotawaringin sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka pada waktu itu terpilih : M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi, Ahmad Said dari BPRI, Dahlan Abas dari partai Masyumi, M. Sahloel dari PNI, Gusti M. Sanusi dari PNI, Djainuri dari SKI, I. Ismail dari Parkindo. (Lontaan dan Sanusi: 1976 : 91) Dalam susunan wakil rakyat yang terpilih tersebut terlihat hanya Gusti M. Sanusi yang merupakan kerabat kesultanan yang terpilih dalam DPRDS.
Namun ketika Swapraja Kotawaringin menjadi Kabupaten sendiri yang disahkan dengan undang-undang No : 27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dapat terlihat banyak diantara kerabat sultan yang menduduki jabatan sebagai anggota DPRDGR, seperti : P. Arianingrat, Gst. Abdul Gani, Gst. Kiting, Gst. Hermansyah, Mas Karim DW, dan H. A. MAS Alipandi. Masuknya beberapa nama ini dalam DPRDGR menandakan mereka juga mulai berkecimpung didalam bidang politik.

Sejarah Singkat Masjid Kiayi Gede Kec. Kotawaringin Lama


Ajaran Islam masuk wilayah Nusantara dengan meninggalkan jejak - jejaknya yang jelas. salah satunya adalah masjid kiai Gede di Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Masjid yang berukuran 16 x 16 meter atau 256 meter persegi ini dibangun pada tahun 1632 Miladiyah atau atau tahun 1052 Hijriyah, tapatnya pada masa pemerintahan sultan Mustainbillah (1650-1678M),raja keempat dari kesultanan Banjarmasin.

Nama Kiai Gede untuk masjid ini diambil dari nama seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah kotawaringin. Ulama tersebut adalah Kiai Gede, seorang ulama asal jawa yang diutus oleh kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Kalimantan. Oleh sang sultan, kiai gede kemudian ditugaskan menyebarkan Islam di Kotawaringin, Sekaligus membawa misi untuk merintis kesultanan baru di wilayah ini.

Berkat jasa - jasa yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun wilayah Kotawarngin, Sultan Mustainubikllah kemudian menganugerahi jabatan kepada kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan Pangkat patih Hamengkubumi dan gelar Adipati Gede Ing Kotawaringin. namun hadiah yang kelak bukan sekedar sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai pusat kegiatan - kegiatan kemasyarakatan
bagi kiai Gede dan para pengikutnya.

Saat ini, Masjid Kiai Gede yang sudah berumur ratusan tahun tersebut masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keseriusan masyarakat kotwaringin barat dalam merawat dan memfungsikan masjid yang dianggap menjadi tonggak sejarah perkembangan Islam di wilayah ini. bagi masayrakat kotawaringin barat, Masjid kiai gede tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja tetapi juga sebagai pusat kegiatan - kegiatan sosial kemasyarakatan, sebagaimana kiai Gede dan para pengikutnya memfungsikan masjid ini di masa lalu.


Oke wal … demikian singkatnya, walau sebenarnya hasil repost hehehe ….

Keadaan Umum Kotawaringin Barat Tahun 1950 - 1960



Keadaan Geografis
Pada tahun 1949 kota Pangkalan Bun masih dikenal sebagai ibu kota dari daerah Swapraja, Kotawaringin, atau dalam bahasa Belanda disebut Landschap. Daearah ini berdasarkan zelkbestuursregenden 1983 dan dalam IS 1946 – 27, telah diberikan hak demokrasi. Sehingga raja atau sultan telah membuat Dewan Perwakilan yang turut membuat undang-undang atau disebut juga dengan Dewan Penasehat.

Negara Indonesia serikat berdiri sejak penyerahan kedaulatan pada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, sesudah diadakan Konferensi Menja Bundar di Ridderzaal ‘Sgravenhage (Netherland) atara kerajaan Netherland, pemerintah Indonesia dan pertemuan untuk permusyawaratan federasi (Bijeenkomst Voor Federal Overleg, yang lazim disebut B.F.O), seperti yang dimaksud dalam induk peresetujuan yang bersangkutan dan terbentuk undang-undang (Kerajaan Belanda) tentang penyerahan kedaulatan Indonesia tanggal 21 Desember 1949 (N.S) 1949 – J 570;L.N. 1950 – 2, yang mulai berlaku pada tanggal 22 Desember 1949. (Irawan Soejito,1984 : 155 – 156).

Setelah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia diakui dunia Internasional akhir maret1950, Landschaap Kotawaringin dengan LN RIS – 16 jo BNRIS 1950 – 23 masuk kedalam Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950, tetapi statusnya sebagai Landscap masih terus berlangsung. Setelah resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia, Swapraja Kotawaringin berada di bawah Kabupaten Kotawaringin yang telah berdiri sejak 27 Desember 1949 dengan ibu kotanya Sampit.

Sebagai daerah Swapraja, Kotawaringin terbagi menjadi beberapa kecamatan yang dikepalai oleh seorang Asisten Wedana atau kiai yang dikemudian hari disebut camat : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 90)

a. Kecamatan Arut Selatan ibukotanya Pangkalan Bun
b. Kecamatan Kumai ibukotanya Kumai
c. Kecamatan Sukamara ibukotanya Sukamara
d. Kecamatan Bulik Ibukotanya Nanga Bulik.

Pembagian wilayah kecamatan ini mengikuti Onderdistrict yang telah dilakukan oleh Belanda. Tetapi karena prasarana dan sarana transportasi masih menggunakan sungai, sehingga wilayah kecamatan yang terletak jauh dari sungai menjadi sulit terjangkau. Ibukota-ibukota kecamatan tadi sebenarnya telah berkembang menjadi kota semenjak jaman Hindia Belanda sebagai tempat pengumpul hasil bumi dan pusat distribusi barang yang didatangkan dari luar daerah.

Setelah berjalan beberapa tahun dibawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit atas kemauan Rakyat yang disalurkan melalui beberapa partai dan Organisasi yang saat itu ada di Pangkalan Bun. Rakyat menghendaki pemisahan diri dari kabupaten Kotawaringin dan penghapusan daerah Swapraja menjadi suatu daerah kabupaten sendiri. Pembentukan Kotawaringin barat diawali dengan Propinsi Kalimantan Tengah terlebih dahulu berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor : UP.34/41/24 tanggal 28 Desember 1957, kemudian barulah menyusul keluarnya SK. Nomor : Des.52/12/2.206 tanggal 22 Desember 1959 tentang pembagian Kabupaten Kotawaringin timur dan kabupaten Kotawaringin Barat.

Menurut data yang penulis peroleh dari Kantor Badan Pusat Statistik kabupaten Kotawaringin Barat, dapat dijelaskan bahwa letak Geografis wilayah kabupaten Kotawaringin Barat ada saat berdiri sendiri sebagai kabupaten baru adalah terletak diantara 0º18 LU – 3º30’LS dan 110º5’ – 112º50’ BT. Batas wilayah kabupaten Kotawaringin saat itu adalah :
 Sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Kotawaringin Timur.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.
 Sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan laut jawa.

Keadaan Topogarafis Daerah Kebupaten Kotawaringin Barat pada umumnya adalah :
 Sebelah Utara adalah pegunungan dan tanah lotosal tahan terhadap erosi.
 Sebelah Selatan adalah terdiri dari danau dan rawa allupial yang banyak mengandung air.
 Bagian Tengah adalah tanah padsoklik merah kuning, juga tahan erosi.

Iklim daerah kabupaten Kotawaringin barat adalah iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai dengan September, sedangkan musim penghujan pada bulan Januari sampai Juni dan Oktober sampai dengan Desamber.

Kota Pangkalan Bun sendiri terletak di kecamatan Arut Selatan, yang terdiri dari beberapa desa yaitu : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 4)
a. Desa Sidorejo
b. Desa Madurejo
c. Desa Mendawai
d. Desa Mendawai Seberang
e. Desa Raja
f. Desa Raja Seberang
g. Desa Baru
h. Desa Pasir Panjang
i. Desa Kenambui
j. Desa Junjung Puteri
k. Desa Rangda
l. Desa Sulung
m. Desa Runtu
n. Desa Umpang

Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk di kota Pangkalan Bun yang terletak saat itu di daerah Swapraja Kotawaringin, tidak bisa dilepaskan dari daerah aliran kepada sungai. Di daerah ini terdapat empat sungai besar, yakni Sungai Jelai, Sungai Arut, Sungai Lamandau dan Sungai Kumai, serta puluhan anak sungai lainnya. penduduk asli yang tinggal di daerah ini adalah suku dayak yang berindukan Dayak Ngaju. Kedekatan Suku dayak dengan sungai mengakibatkan mereka mengidentifikasikan dirinya, atau masyarakatnya dengan nama sungai. (Bappeda, 2004 : 3).

Menurut Nahan telah bermukim sejak lama beberapa Suku Dayak di daerah ini antara lain :

a. Suku Dayak Arut, berkedudukan di Pandau.
b. Suku Dayak Darat, mereka telah mengirim upeti ke Kerajaan Majapahit sebelum kerajaan Kotawaringin ada.
c. Suku Dayak Didang, Belantikan dan Batang Kawa, berkedudukan di Kudangan, mereka mengirim upeti kepada kerajaan Banjar.
d. Suku Dayak Jelai yang berdialek jelai dan termasuk kelompok Dayak Ketung, mereka berdiam di daerah jelai dan Kotawaringin lama.
e. Suku Dayak Bulik yang juga merupakan kelompok Dayak Ketung, bertempat tinggal di daerah sungai Bulik dan Kotawaringin lama bagian utara.

Mengenai keberdaan orang Dayak di Kalimantan, terdapat dua pendapat yaitu Menurut Waldemar Stocdar di Kalimantan Utara terdapat Dayak Kalimantan, sedangkan Menurut Cilik Riwut Dayak Kalimantan itu sama dengan Dayak Darat yang bermukim di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tepatnya di Kotawaringin. Pada umumnya orang-orang dayak memeluk agama kaharingan atau Kristen, sedangkan orang dayak yang telah masuk islam menyebut dirinya melayu, (Bappeda, 2004 : 5).

Pembagian suku-suku di Kalimantan sendiri sukar untuk dijelaskan karena perkataan suku melayu banyak digunakan dalam pengertian pembagian agama, meskipun banyak juga suku melayu yang berasal dari Riau dan Semenanjung Malaka. Menurut Malin Cordt bahwa suku melayu yang berada di pesisir adalah sebagian keturunan dari Penduduk Jawa pada masa Majapahit, penduduk ini juga bisa datang dari Bengawan di sungai sedulun dan Melayu Tarakan. Sedangkan dari hasil wawancara penulis dengan Gusti Achmad Yusuf dijelaskan bahwa sudah ada suku Melayu yang berasal dari Brunei, jauh sebelum perkampungan Pangkalan Bun mulai ramai.

Mengenai migrasi suku banjar (Banjar Kuala) ke Kotawaringin terutama terjadi pada masa pemerintahan Raja Manuhum atau Sultan Musta’inbillah (1650 – 1672), yang telah mengijinkan berdirinya kerajaan Kotawaringin itu sendiri dengan raja pertamanya Pangeran Adipati Antakusuma, (www.wikepedia.org). sehingga sangat jelas terjadi juga percampuran antara suku banjar dengan suku dayak yang telah lebih dahulu mendiami daerah-daerah yang berada di bawah kesultanan Kotawaringin. Mengenai persahabatan antara Suku Dayak Arut dengan suku Banjar terdapat sebuah cerita yang menarik yang termuat di dalam buku Lontaan dan Sanusi, yaitu disepakati Suatu Pemufakatan untuk menjalin hubungan baik diantara kedua suku tersebut dengan “Perjanjian Daerah”, yakni upacara yang meminta tumbal dari masing-masing kelompok satu orang untuk dipenggal kepalanya sebagai korban. Ditambahkan oleh Gusti Achmad Yusuf bahwa selain nyawa manusia, dikorbankan juga seekor babi dari suku dayak dan Kambing dari suku banjar. Kemudian di atas kuburan korban tersebut diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Batu Petahan.

Pada masa Sultan ke XIV yaitu Pangeran Ratu Anum Kesuma Alamsyah (1939 – 1948), terjadi perluasan kota untuk pemukiman penduduk yaitu : (Bappeda, 2004 : 18)

a. Di kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka dikenallah tempat itu dengan sebutan sungai Bulin.
b. Di kampung Raja, membukja lokasi baru untuk tempat pemukiman penduduk kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan / ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un tau disebut juga kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan baru.
c. Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jaw, sekarang menjadi kelurahan Sidorejo. Menurut Lontaan dan Sanusi, penduduk asli yang bermukim di Kabupaten Kotawaringin Barat berasal dari Suku Dayak Ngaju,yang kemudian dapat diuraikan lagi sebagai berikut :

a. Suku Mendawai
b. Suku Ruku Mapan
c. Suku Darat
d. Suku Lamandau
e. Suku Bulik
f. Suku Mentobi
g. Suku Belantikan
h. Suku Batang Kana / Kawak
i. Suku Delang ulu dan Ilir
j. Suku Banjar

Selain suku-suku ini juga disebutkan sudah mulai ada Suku Jawa dan Madura, serta suku bangsa Cina atau Tionghoa yang sudah menetap di kota Pangkalan Bun.

Ciri-ciri fisik Dayak Ngaju adalah tulang pipi agak menonjol, muka agak Bundar sampai mendaun, kuping sedang dan tipis, hidung tidak terlalu mancung, dahi berukuran sedang, rambut lurus sampai ikal, leher sedang, tinggi badan diatas 150 cm sampai 170 cm, dada tidak terlalu bidang dan tidak tebal, perawakan agak kurus, kaki khususnya betis banyak yang berbentuk O dan tubuh tidak berbulu (Dep. P&K, 1982 : 81 – 82).

Adapun jumlah penduduk kota Pangkalan Bun dari tahun 1950 – 1960, tidak penulis peroleh secara rinci. Di kantor Badan Pusat Statistik Kotawaringin Barat penulis hanya menemukan arsip terutama pada tahun 1982, alasan ketidaktersediaan data yang lengkap di kantor tersebut adalah bahwa setiap 10 tahun sekali data-data di kantor tersebut di musnahkan. Hal ini yang sangat disayangkan oleh penulis, karena jika ada peneliti yang menginginkan data-data tentang kota Pangkalan Bun pada tahun-tahun yang telah lampau, maka akan sulit memperoleh data-data tersebut. Sedangkan di buku karangan Lontaan dan Sanusi hanya menyebutkan jumlah penduduk kabupaten Kotawaringin Barat pada tahun 1976.

Untuk melengkapi data tentang jumlah penduduk kota Pangkalan Bun pada tahun 1950 – 1960, berikut akan penulis cantumkan data tentang jumlah penduduk Indonesia hasil sensus penduduk tahun 1930 dengan tahun 1961, sebagai bahan perbandingan tentang keadaan penduduk di kota Pangkalan Bun saat itu. Jumlah penduduk Indonesia (Martono dan Saidihardjo, 1983 : 26 – 27).
a. Tahun 1930 60,7 Juta Jiwa
b. Tahun 1961 97 Juta Jiwa
c. Tahun 1971 119,2 Juta Jiwa
d. Tahun 1976 129,9 Juta Jiwa

Kepadatan masing-masing pulau yaitu :

a. Pulau Jawa dan Madura 565 / Km2
b. Pulau Sumatera 38/ Km2
c. Pulau Kalimantan 9/ Km2
d. Pulau Sulawesi 37/ Km2
e. Pulau-Pulau lain 14/ Km2

Keadaan jumlah Penduduk Pulau Kalimantan, luas tanah dan Kepadatan Penduduk berdasarkan sensus 1971 adalah sebagai berikut :

Propinsi Penduduk % Luas / km2 Kepadatan
Kalbar 2.019.963 1.69 157.066 13
Kalteng 699.589 0.59 156.556 4
Kalsel 1.699.105 1.42 34/611 49
Kaltim 733.536 0.62 202/619 4

Dari beberapa data perbandingan diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan penduduk di Kalimantan Tengah masih sedikit dibandingkan dengan daerah Kalimantan lainnya, begitu juga tentang presentasi dan kepadatannya. Di kota Pangkalan Bun sendiri tentunya juga masih dihuni oleh penduduk yang sangat sedikit. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari H. Tengku Syahrial. Bahwa Pangkalan Bun saat itu masih merupakan kota kecil dan Ketika pihak kerajaan mengadakan acara Kenduri di Istana, maka Rakyat akan dijamu makan gratis di istana selama 3 hari – 3 malam.

Sistem Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk Kotawaringin Barat khususnya kota Pangkalan Bun, mempunyai mata pencaharian dari hasil hutan dan secara sambilan mengerjakan pertanian, perkebunan serta nelayan. Hasil hutan yang utama saat itu adalah kayu Meranti dan Ramin yang telah dijual ke luar daerah. Bahkan dari hasil wawancara penulis dengan H. Tengku Syahrial disebutkan bahwa Pangkalan Bun terletak dalam jalur perdagangan hingga keluar negeri, karena dilalui rute perdagangan Banjarmasin → Pangkalan Bun → Singapura. Hasil hutan yang dikerjakan oleh penduduk antara lain :

a. Atap Sirap ulin
b. Kayu Keruing
c. Rotan
d. Jelutung
e. Damar

Di dalam buku karangan Lontaan dan Sanusi juga dijelaskan bahwa pertanian Rakyat masih sederhana penggergajiannya, karena masih menggunakan cara-cara tradisional dan belum menggunakan pupuk. Pertanian ini banyak di sektor tanaman padi dan masih dilakukan dengan sistem perladangan yang berpindah-pindah di tanah tinggi (Natai). Selain Pertanian, perkebunan Rakyat juga belum memberikan pemasukan yang banyak pada saat itu dengan perincian sebagai berikut :

a. Karet
b. Kelapa
c. Kopi
d. Cengkeh
(60% adalah tanaman muda yang belum berubah)

Di bidang perikanan (darat dan laut), walaupun cukup potensial namun belum cukup mendapat tanggapan yang semestinya. Daerah Tanjung Puting misalnya, yang banyak terdapat ikan disana, kerap kali menjadi daerah operasi nelayan-nelayan dari daerah lainnya. mengenai peternakan, pada tahun-tahun tersebut sudah ada masyarakat yang memelihara sapi, khususnya di daerah pedalaman dengan cara sederhana. Caranya adalah dengan melepas begitu saja sapi-sapi itu di alam terbuka dan sewaktu-waktu diberi air garam untuk menjinakkannya. Di kota Pangkalan Bun juga berkembang kerajinan Rakyat yaitu : (Lontaan. 1976 : 146 – 148)

A. Kecubung
Hasil kerajinan Rakyat juga banyak penggemarnya, yakni perhiasan Batu Kecubung. Batu-batu kecubung ini biasa dibuat hiasan cincin, gelang dan liontin, dengan warna dominan biru / ungu.

B. Duyung
Kerajinan dari gigi taring ikan yang biasanya dijadikan pipa isapan rokok. Saat ini pemerintah sudah melarang penangkapan ikan tersebut karena termasuk binatang yang dilindungi, dan juga agar ikan ini tidak punah.

C. Tetudung
Kerajinan ini dibagi dalam 3 jenis yaitu :
¬Jenis Tudung Saji berbentuk besar dengan diameter 65Cm, yang pada bagian kulit luarnya yang melengkung dihiasi dengan manik warna-warni dan benda-benda lain yang mengkilat. Tudung saji jenis ini pada jaman dulu umumnya digunakan oleh pengantin baru. ¬Jenis Tudung Saji Biasa. Bentuk dan fungsinya sama dengan Tudung saji yang sebelumnya, hanya saja tidak dihiasi dengan manik-manik, melainkan dicat warna merah yang bahannya dari getah kayu “Jeremang”. ¬Jenis Tudung Saji Hiasan. Bentuknya kecil dan umumnya digunakan untuk hiasan dinding pada bagian luar kulitnya yang melengkung dihiasi manik warna-warni yang membentuk lambing atau nama dari si pemesan.

Adapun rintangan yang dihadapi oleh para pedagang dalam memasarkan barang adalah dalam hal pengangkutan barang, yakni adanya daerah-daerah hulu sungai yang beriam-riam yang dapat menghambat perjalanan dan dapat membuat kapal karam. Sulitnya medan yang dilalui karena hanya mengandalkan jalur sungai membuat hanya barang menjadi tiga kali lipat di bandingkan dengan daerah muara sungai dan tepi pantai. Pada saat itu juga masih berlaku pertukaran barang terutama di daerah-daerah pedalaman. Selain sudah mulainya digunakan uang. Mengenai pembagian uang saat itu, penulis peroleh dari hasil wawancara dengan H. Tengku Syahrial adalah sebagai berikut :

¬ 1 sen (tembaga) nilainya adalah 2 remis
¬ 1 ½ sen nilainya adalah sebenggol / 1 benggol
¬ 2 benggol nilainya adalah 1 klib (nikel)
¬ 2 klib nilainya adalah 1 ketib
¬ 25 sen nilainya adalah 1 tali
¬ 2 tali nilainya adalah 1 suku
¬ 2 suku nilainya adalah 1 rupiah
¬ 1 rupiah nilainya adalah 100 sen

¬ 2 ½ rupiah nilainya adalah 1 ringgit.

Sistem Pendidikan
Perhatian pendidikan pada saat Hindia Belanda kurang diperhatikan. Tugas pendidikan untuk anak-anak pribumi dilakukan oleh badan swasta yakni Zending. Zending dengan keterbatasan dana dan tenaga sukar untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mampu menjangkau Rakyat banyak. Sedangkan bantuan yang diberikan pemerintah Belanda berupa subsidi banyak yang dikurangi karena politik penghematan. Akibat penghematan ini uang sekolah menjadi mahal dan banyak anak-anak pribumi yang tidak mampu meneruskan sekolahnya.

Kesulitan utama bagi pendidikan di Kotawaringin adalah kesediaan tenaga guru yang sangat terbatas. Tenaga-tenaga yang terpilih menjadi guru dikirim terlebih dahulu ke Depok untuk dididik. Sekolah guru ini adalah satu-satunya milik zending. Baru pada tahun 1902 zending mendirikan sekolah guru di Banjarmasin yang disebut Seminari. Lulusan seminari ini yang kemudian mengajar di sekolah desa selama tiga tahun (Volk School) dan sekolah lanjutan selama dua tahun (Vervolg School).

Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.

Ketika Jepang masuk, mereka menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah penjajahan Jepang mengambil alih semua sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut faiso. (Bappeda, 2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda, 2005 : 38).

Dalam perkembangan pendidikan di kota Pangkalan Bun setelah melalui fase pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, Swapraja, hingga menjadi kabupaten sendiri. Sejak tahun 1955 di bidang pendidikan dasar wilayah Pangkalan Bun telah ditunjuk sebagai kepala inspeksi sekolah Rakyat wilayah yaitu L. Ronteng, sendangkan sejak daerah ini berstatus kewedanaana / daerah Swapraja, sudah ada kantor inpeksi pendidikan jasmani wilayah Pangkalan Bun yang statusnya masih di bawah Sampit dan dikepalai oleh madjekur. (Bappeda, 2004 : 94).

Sejak tahun 1959 di daerah ini sudah ada berdiri kantor inspeksi pendidikan masyarakat yang dikepalai oleh Abdurani yang statusnya masih di bawah Sampit. Kegiatannya sampai dengan 1961 bergerak dalam pemberantasan buta huruf di kampung-kampung dan penyebaran perpustakaan berupa buku-buku bahkan dengan tenaga pengajar bersifat sukarela. (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 100).

Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakan Pankalan Bun mayoritas adalah beragama islam. Walaupun terdapat juga kepercayaan-kepercayaan lain seperti kaharingan dan Kristen, namun jumlahnya sangat sedikit. Sehingga sampai sekarang pun tempat ibadah agama selain islam bisa dihitung dengan jari. Perkembangan islam di Kotawaringin tidak lepas dari dai andil seorang ulama yang bernama kyai Gede, mengenai keberadaan kyai Gede terdapat berbagai versi cerita adapun beberapa versi cerita tersebut adalah :

a. Menurut Lontaan dan Sanusi Kyai Gede adalah seorang muslim yang ditemukan terikat pada sebatang pisang pada saat pembangunan kerajaan Kotawaringin, oleh kepala suku dayak laman dan ditolong dan dirawat serta diberi pembantu, karena sikapnya yang mengerti tata tertib dan sopan santun sehingga Rakyat sangat tertarik untuk memeluk agama yang dianutnya. Selain pengetahuan agama Kyai Gede juga memberikan pengetahuan tentang perang karena beliau merupakan Kyai dan pahlawan dari Majapahit.

b. Menurut Legenda Rakyat, pada waktu rombongan Pangeran Adipati Anta Kesuma mendarat di tepi sungai Lamandau mereka didatangi oleh rombongan Demang tujuh bersaudara dan Kyai Gede. Setelah kedua rombongan berperang dengan kemenangan di pihak Pangeran Adipati Antakesuma, kyai gede dan rombongannya sepakat mengangkat Pangeran Adipati Antakesuma menjadi raja. Yang menari dari legenda Rakyat ini, kyai Gede, Demang akar dan anaknya Sagar masuk agama islam. Demang akar dan Sagar masing berganti nama menjadi Demang Silam (Solam) dan Selamat. Sedangkan keenam demang lainnya pindah ke darat (pedalaman) kutaringin / Kotawaringin (Bappeda, 2004 : 8).

c. Menurut Nahan hasil wawancaranya dengan Gusti Dumai Anas, mengatakan bahwa berdirinya kerajaan Kotawaringin oleh Pangeran Adipati Antakesuma tidak dapat dipisahkan dari kedatangan kyai Gede yang mendahului kedatangan Pangeran Adipati Antakesuma di daerah Kotawaringin. Dikisahkan Kyai Gede adalah seorang ulama dari Demak yang kemudian pergi ke kerajaan Banjar kemudian diperintah Raja Banjar yaitu Sultan Mustainullilah / Mustainullah/Mustainbillah untuk membuka daerah wilayah barat Kerajaan Banjar. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kyai Gede adalah pembuka daerah baru dan sempat menghantarkan upeti ke Banjar sampai datangnya Pangeran Adipati Antakesuma.

Selama ini masih terjadi perdebatan siapakah sebenarnya Kyai Gede ?, apakah beliau seorang Muslim sebelum datang kekotawaringin ataukah seorang Hindu yang kemudian berpindah agama islam, atau juga apakah beliau seorang Dayak yang masuk Islam ataukah orang yang berasal dari Jawa. Hal ini masih menjadi perdebatan, karena minimnya sumber tertulis yang ada.
Diwilayah kecamatan Arut Selatan yang beribukotakan di Pangkalan Bun ini masih terdapat beberapa kesenian, kepercayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat hingga sekarang. Tradisi-tradisi tersebut sudah sejak lama terbentuk dari hasil percampuran budaya Dayak, Melayu dan Banjar. Beberapa upacara-upacara kebiasaan dalam hidup sehari-hari sudah mendapat pengaruh Islam, namun ada juga yang masih asli tanpa pengaruh Islam Khususnya di daerah Pedalaman.

Adapun kesenian, tradisi dan upacara-upacara tersebut antara lain : (Dispasenibud Kobar)
a. Di daerah pesisir
Hadrah yaitu kesenian tradisional daerah yang bersifat keagamaan berupa tari-tarian yang diiringi oleh pembacaan Shalawat dan Rebana, biasanya dimainkan pada saat perkawinan dan peringatan keagamaan.
• Burdah yaitu upacara mengayun anak bayi pada saat berumur 7 sampai 10 hari.
• Manggudading atau Banggas merupakan upacara mengayun anak juga.
• ¬Barudat yaitu pada saat membandingkan pengantin.
• ¬Rebana pada acara keagamaan.
• ¬Tampung Tawar pada acara perkawinan dan ritual lainnya.
• Pantun Seloka yaitu kesenian dalam bentuk puisi.
• Merumpak Kotamara yaitu pertunjukan silat pada saat penerimaan tamu atau pengantin.
• ¬Jepen dan Tirik yaitu kesenian tarian tradisional.
• ¬Menyanggar banua adalah ritual memberi sesajen kepada makhluk halus.
• ¬Mamanda yaitu kesenian fragmen atau sandiwara.
• ¬Mangidung adalah upacara berbalas pantun pada saat menerima tamu.
• ¬Maulid yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
• Bakocor yaitu upacara berbalas pantun pada saat pengantin pria mendatangi rumah pengantin wanita.
• ¬Marak pengantin yaitu mengarak pengantin pria
• ¬Barowah untuk memperingati kematian seseorang
• ¬Doa A’kasah pada awal hijriah
• Bararisik yaitu upacara lamaran
• ¬Bahatam Qur’an jika seseorang selesai belajar Al-Qur’an
• ¬Haulan memperingati kematian seseorang setiap tahun
• ¬Bahalarat yaitu pada saat mendirikan bangunan.
• ¬Doa selamat tolak bala pada saat ada musibah.
• ¬Menujuh hari untuk memperingati hari ketujuh orang meninggal.
• ¬Meniga hari untuk memperingati ketiga orang meninggal.
• ¬Menyeratus hari untuk memperingati hari keseratus orang meninggal.
• ¬Mandi Baya yaitu mandi-mandi pada saat seorang wanita hamil tujuh bulan.
• ¬Tajak tanah, mandi kebanyu yaitu pada saat bayi berumur 7 – 30 hari.
• ¬Menurun tanah yaitu pada saat jenazah dikuburkan.
• ¬Pamali adalah larangan
• ¬Batimung adalah acara membersihkan badan calon pengantin
• ¬Menjorah kubur adalah ritual berziarah ke kubur.
• ¬Memajang yaitu mendekorasi rumah dan kamar pengantin.
• ¬Barinjam yaitu ada acara panen padi secara gotong royong.

b. Pedalaman
• Begondang yaitu upacara menerima tamu dengan adat Dayak.
• ¬Barayah yaitu acara belasungkawa untuk mengantar jenazah.
• ¬Potong Balerang yaitu tarian menyambut tamu.
• ¬Domang adalah Pemimpin kampung atau kepala adat.
• Panta panti adalah pantangan
• ¬Babura adalah bersemedi di rumah yang meninggal dunia.
• ¬Badewa yaitu ritual pengobatan secara tradisional dengan menggunakan sesajen.

Aspek Pemerintahan Lokal
Setelah daerah Swapraja Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1050, daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.

Pada saat di swapraja Kotawaringin telah berdiri beberapa organisasi dan partai politik antara lain :

A. Partai Masyumi
B. Partai Nasional Indonesia (PNI)
C. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)
D. Sarekat Kerja Indonesia (SKI)
E. Badan Pekerja Republik Indonesia (BPRI)
F. Persatuan Wanita Indonesia (Perwani)

Daerah Swapraja Kotawaringin sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka pada waktu itu terpilih : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 91)

a. M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi
b. Ahmad Said dari BPRI
c. Dahlan Abas dari partai Masyumi
d. M. Sahloel dari PNI
e. Gusti M. Sanusi dari PNI
f. Djainuri dari SKI
g. I. Ismail dari Parkindo

Mengenai M. Sahloel karena sesuatu hal tidak dapat hadir sehingga diganti oleh Azhar Mukhtas. Ketujuh orang ini yang mewakili daerah Swapraja Kotawaringin di DPRDS Kabupaten Kotawaringin yang keseluruhannya terdapat 18 kursi. DPRDS ini dilantik tahun 1951, yakni sebelum terbentuknya Propinsi Kalimantan tengah dan masih berada dalam kawasan keresidenan Kalimantan Selatan.

Adapun orang-orang yang pernah menjabat sebagai Wedana / Wakil Kepala Daerah Swapraja Kotawaringin berturut-turut adalah sebagai berikut : (Bappeda. 2004 : 81)

a. Basri. BA
b. Gusti Ahmad
c. M. Saleh
d. Abdul Muis
e. Rozani
f. Syukur
g. C. Mihing

Setelah beberapa tahun berada di bawah kabupaten Kotawaringin, muncullah tuntutan dari Rakyat swapraja Kotawaringin untuk memisahkan diri dan menghapus Swapraja menjadi kabupaten yang baru. Tuntutan ini disampaikan dalam sidang Pertama DPRDS tahun 1955 oleh wakil-wakil dari swapraja Kotawaringin, dengan mengajukan mosi tanggal 21 Juni 1955 yang ditandai tangani oleh : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 93).

a. Dahlan Abas
b. Abdullah Mahmud
c. Azhar Mukhtas
d. Ahmad Said
e. Djainuri
f. Gusti. M. Sanusi

Mosi tersebut disetujui hingga keluarlah keputusan DPRDS melalui resolusi tanggal 30 Juni 1955 No. A – 21 – 12 – dpr – 55 yang disampaikan kepada : (Bappeda, 2004 : 88)

a. Menteri Dalam Negeri Jakarta.
b. Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
c. Residen Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
d. Bupati / Kepala Daerah Kabupaten Kotawaringin di Sampit.

Setelah adanya peninjauan dari pusat, maka keluarlah undang-undang No : 27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dengan ibukotanya Sampit dan Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibukotanya Pangkalan Bu’un yang Akhirnya berubah nama menjadi Pangkalan Bun, yang pada saat itu telah menjadi bagian Propinsi Kalimantan tengah, dan diresmikan tanggal 3 Oktober 1959 dan mengangkat C. Milling menjadi Bupati Pertama kabupaten Kotawaringin Barat.

Untuk kelengkapan badan-badan / lembaga-lembaga dalam pemerintahan daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dengan lahirnya Pen.Pres.No : 5/6 tahun 1960 dan berdasarkan S.K. Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Maret 1960. No : 35-PD-I-1960 diangkatlah 4 orang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) yang terdiri dari : (Bappeda, 2004 : 89)

a. Gusti. M. Sanusi
b. Lie Sian Bang
c. Ishak Permana
d. Djainuri

Badan ini berfungsi untuk membantu tugas Bupati dalam pemerintahan.
Melalui S.K. Gubernur Kalimantan Tengah tanggal 17 Oktober 1960 No0 : okt-317/60/Dprdgr, dibentuklah DPRDGR = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong yang beranggotakan 15 orang sebagai berikut : (Lontaan dan Sanusi, 1976 : 95)

a. J.R. Lama Wakil Ketua Dari PNI
b. P. Arianingrat anggota Dari PNI
c. Said M. Tji anggota Dari NU
d. Abdussukur anggota Dari Seniman
e. A. Kamas anggota Dari PNI
f. LE. Djuang anggota Dari PKI
g. Gst. Abdul Gani anggota Dari NU
h. Said Husin anggota DariAngkatan 45
i. H. Barak anggota Dari Pengusaha Nasional
j. Selma anggota Dari Wanita
k. Ajang Bahan anggota Dari ABRI / POLRI
l. Gst. Kiting anggota Dari Pemuda
m. Gst. Hermansyah anggota Dari NU
n. Mas Karim DW anggota Dari Tani
o. H. A. MAS Alipandi anggota Dari ABRI / AD

Keseluruhan anggota DPRDGR ini dilantik oleh Gubernur Kalimantan Tengah saat itu yaitu Cilik Riwut tanggal 12 Januari 1961.

Dari Kerajaan Kotawaringin ke Swaparaja Kotawaringin




Kemunduran kerajaan Kotawaringin adalah pada saat Kerajaan Kotawaringin diserahkan kerajaan Banjar kepada Hindia Belanda. Hindia Belanda kemudian memperkuat kekuasaannya dengan berbagai monopoli dagang. Selain itu perpecahan dipihak keluarga kerajaan yang mengundang pihak Hindia Belanda untuk turut campur, ikut memperlemah kekuatan kerajaan terhadap pemerintah Hindia Belanda, serta mengurangi kewibawaan mereka terhadap rakyat. Hal ini ditambah dengan penyerahan monopoli garam kepada pihak Hindia Belanda pada tanggal 13 Agustus 1900 (Bappeda,2004:27), dan dipergunakannya uang Hindia Belanda membuat penduduk sangat tergantung kepada Hindia Belanda, serta ekonomi Hindia Belanda menjadi kuat. Akibatnya keluarga kerajaan hanya menjadi simbol saja tanpa kekuasaan.
Kekuasaan kerajaan Kotawaringin berakhir pada waktu kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat Sultan ke XIV Pangeran Ratu Anom Alamsyah dimintai kepastiannya apakah mendukung Republik Indonesia atau tidak, Sultan dalam keadaan sakit sehingga ketegasannya tidak didapat.(Bappeda,2004: 27) Mengenai masalah ini Cilik Riwut berpendapat sebagai berikut : ….Sultan menerangkan bahwa mereka berdiri di belakang blok A.B.C.D, tetapi rakyatnya tetap berdiri di belakang Republik Indonesia,karenanya rakyat mengangkat seorang yang dipandang bisa sesuai dengan kemauan rakyat.(Cilik Riwut,1993:27)
Pendapat lain juga diutarakan oleh Lontaan dan Sanusi tentang berakhirnya kerajaan Kotawaringin adalah sebagai berikut : ….pada tanggal 20 oktober 1948 telah terbentuk Dewan Perwakilan sendiri. Rakyat Kotawaringin dan sekitarnya dengan suara bulat, melalui Dewan tersebut menyerukan, hanya ingin menggabungkan diri dengan Pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.(Lontaan dan Sanusi,1976:53-54). Sedangkan pendapat bahwa Sultan ke XIV tidak bersedia berdiri di belakang Republik Indonesia dibantah oleh kerabat kerajaan. Bukti bahwa Sultan berpihak kepada kemerdekaan Indonesia adalah dengan memberikan lebih dari 300 pucuk senapan kepada para pejuang, memberikan meriam-meriam untuk melawan pemerintahan Hindia Belanda yang ingin kembali lagi setelah Perang Dunia II selesai. Kenyataan bahwa Sultan Kotawaringin mendukung Presiden RI tidak dapat dibantah lagi karena beliau menghadap Presiden RI untuk menyatakan tekadnya mendukung RI. Oleh Bung Karno Sultan ke XIV diangkat menjadi wedana di daerah Sukorejo Jawa Tengah. (Bappeda,2004:28)
Pada masa kemerdekaan yakni sesudah Konperensi Meja Bundar (KMB), Pada tanggal 14 Agustus 1950 Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RIS atas 10 Propinsi (Propinsi Administratif), satu diantaranya adalah Propinsi Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 Karesidenan yakni Karesidenan Kalimantan Barat, Karesidenan Kalimantan Selatan dan Karesidenan Kalimantan Timur. Eks Daerah Otonomi Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi 3 Kabupaten yaitu : Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito dan Kabupaten Kotawaringin yang bersama-sama Daerah Otonomi Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara, digabungkan kedalam Karesidenan Kalimantan Selatan. Menurut Irawan Soejito meskipun tergabung ke dalam Karesidenan Kalimantan Selatan, Swapraja Kotawaringin tetap berdiri sendiri sebagai Landschap dengan. Dalam perkembangan berikutnya Kabupaten Kotawaringin kemudian tergabung kedalam Propinsi Kalimantan Tengah dan terbagi menjadi dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat dengan Ibukota Pangkalan Bun dan Kabupaten Kotawaringin Timur dengan Ibukotanya Sampit. Hal ini diawali dengan terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah tahun 1957 melalui Undang-Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, Lembar Negara Nomor 53 Tahun 1957 dan Tambahan Lembar Negara Tahun 1957 Nomor 1284 tertanggal 23 Mei 1957. Pembentukan Kabupaten Kotawaringin Barat itu sendiri berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor :Up.34/41/24, tanggal 28 Desember 1957 dan SK. Nomor : Des.52/12/2.206, tanggal 22 Desember 1959 Tentang Pembagian Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat.
Perubahan sistem pemerintahan yang terjadi di kesultanan Kotawaringin, tentunya juga membawa perubahan dalam peranan para keturunan Sultan. Hal ini membawa perubahan pada kedudukan keturunan Sultan di dalam kelompok masyarakat di kota Pangkalan Bun. Perubahan pada kedudukan keturunan Sultan yang dimaksud adalah kedudukan sosial. Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dan masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.(Soerjono Soekanto,2005:288)
Dalam kepustakaan nasional dan daerah sangat kurang tentang kesultanan Kotawaringin, padahal di lain sisi kesultanan Kotawaringin merupakan objek kajian yang sangat menarik untuk diteliti. Hal ini tidak lepas dari keberadaan kesultanan Kotawaringin tersebut sebagai satu-satunya kerajaan yang pernah ada di provinsi Kalimantan Tengah. Menurut Slamet Mulyana Kotawaringin merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit di jaman pemerintahan Hayam Wuruk, ini diuraikan dalam kitab Negara Kertagama pupuh XII dan XIV. Nama Kotawaringin sendiri menurut Yusuf dan Kassu berasal dari nama pohon Beringin yang banyak tumbuh di daerah ini. (Bappeda,2004:6) Untuk itu penulis merasa sangat tertarik untuk menggali hal ini lebih dalam, terutama tentang peranan keturunan Sultan pada saat berakhirnya kerajaan tersebut. Sehingga dapat diketahui hubungan yang terjalin antara keturunan Sultan dengan masyarakat biasa pasca perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan yang bercorak Islam ke sistem pemerintahan swapraja.

Sejarah Kabupaten Kotawaringin Barat





Hari jadi Kabupaten Kotawaringin Barat tidak dapat dilepaskan dari jejak sejarah Kerajaan Kotawaringin yang dibangun oleh keturunan Raja Banjar. Bermula ketika Pangeran Adipati Antakusuma meninggalkan kerajaan Banjar dengan tujuan kearah barat untuk mencari tempat dimana akan didirikan kerajaan baru. Dengan restu Ayahnda dan Ibunda, Pangeran Adipati beserta sejumlah pengawal dan beberapa perangkat kerajaan dengan perahu layar bertolak menuju kearah Barat. Dalam perjalanan banyak tempat yang disinggahi, antara lain : Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit, Kuala Pembuang hingga akhirnya sampai ke Desa Pandau yang dihuni masyarakat suku Dayak Arut dibawah kepemimpinan Demang Petinggi, di Umpang.

Pangeran Adipati Antakusuma dapat diterima masyarakat dayak Arut untuk dijadikan raja dari rakyat Dayak dengan syarat, Raja tidak boleh memperlakukan rakyat dayak sebagai hamba, melainkan pembantu utama dan kawan dekat atau sebagai saudara yang baik. Rakyat tidak akan menyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati Antakusuma. Syarat itu diterima Pangeran Adipati, termasuk syarat agar dibuat perjanjian bermaterai darah manusia dari seorang suku Dayak dan seorang dari rombongan Pangeran Adipati. Sebelum dikorbankan, kedua orang yang mewakili masing-masing pihak, mengambil sebuah batu yang harus ditancapkan ketanah sebagai bukti turun temurun, saksi sepanjang masa, melalui upacara adat, batu itu sekarang terkenal dengan nama “ BATU PETAHAN” di Pandau Kecamatan Arut Utara. Pada upacara adat, korban yang mewakili suku Dayak menghadap kehulu asal datangnya, korban yang mewakili rombongan Pangeran Adipati menghadap kehilir, mengibaratkan asal datangnya. Upacara adat Sumpah Setia / perjanjian ini akhirnya dinamai “ PANTI DARAH JANJI SEMAYA”.
(sumber “Koran Kotawaringin Pos” Oktober 2000)

Sejak Belanda mengakui kedaulatan RI tanggal 17 Desember 1949, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1949 lahirlah Kabupaten Kotawaringin dengan Ibukota Sampit yang dipimpin oleh Bupati Kepala Daerah : TJILIK RIWUT. Daerah Swapraja Kotawaringin pada saat itu hanya setingkat dengan kewedanan dengan ibukota Pangkalan Bun yang termasuk daerah kekuasaan Wedana/ Wakil Kepala Daerah yang waktu itu bernama : BASRI. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) Kabupaten Kotawaringin berkedudukan di Sampit. Karena daerah ini merupakan sebagian dari daerah Kab. Kotawaringin maka untuk wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif dipilih dan diambil dari partai yang ada. Seperti : M. ABDULLAH MAHMUD dari Masyumi, AHMAD SAID dari BPRI, DAHLAN ABBAS dari Masyumi, M. SAHLOEL dari PNI, GUSTI M. SANUSI dari PNI, DJAINURI dari SKI dan I. ISMAIL dari Parkindo.

Setelah beberapa tahun daerah ini berada dilingkungan Kab. Kotawaringin, atas dasar kemauan rakyatnya yang disalurkan melalui partai-partai, daerah Swapraja Kotawaringin / Kewedanan Pangkalan Bun diminta untuk memisahkan diri dari kab. Kotawaringin dan penghapusan swaparaja menjadi kabupaten yang berdiri sendiri. Tuntutan masyarakat ini disalurkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di DPRDS. Aspirasi rakyat ini kemudian diperjuangkan dalam sidangnya yang pertama dengan mengajukan mosi pada tanggal 21 Juni 1955. Sidang DPRDS menyetujui mosi yang dikuatkan dengan Keputusan DPRDS Kab. Kotawaringin. Resolusi Sampit tanggal 30 Juni 1955 itu kemudian disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta, Gubernur/Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin, Residen Kalimantan Selatan di Banjarmasin, dan Bupati kabupaten Kotawaringin di Sampit.

Kemudian datanglah utusan dari parlemen (DPR) pusat ke Pangkalan Bun, tujuannya untuk melihat dari dekat keberadaan daerah dan masyarakat, terutama tentang keinginan yang menjiwai mosi tersebut. Setelah yakin bahwa mosi itu keinginan masyarakat, maka pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 27 tentang Pemecahan Kabupaten Kotawaringin menjadi Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur dengan Ibukota Sampit dan Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat dengan Ibukota Pangkalan Bun. Saat itu kedua Daerah Tingkat (Dati) II sudah berada dalam Propinsi Kalimantan Tengah, selanjutnya pada tanggal 03 Oktober 1959 Gubernur TJILIK RIWUT atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan Kabupaten Kotawaringin Barat di BALAI SEMBAGA MAS, Pangkalan Bun, dan sebagai bupati pertama adalah : C. MIHING.
(sumber “Koran Borneo” Oktober 2000)


Nama Pejabat yang pernah berkuasa di Kotawaringin adalah :

1. Van Der Maulen Controleur 1907 Jaman Belanda
2. L. Ludolp Controleur -
3. J.C Van Nouhuya Civ.Gezaghebber -
4. CH.Logaen Gezaghebber -
5. W.F.A. Bal Controleur -
6. L.E. Britsen Van Gral Controleur -
7. W.E.C. VEAN Controleur 06-10-1915 s/d 21-03-1916
8. F.M/L. Horsting Gezaghebber 21-03-1916 s/d 09-09-1921
9 Dr. J. Malingkrodt Controleur 09-09-1921 s/d 29-11-1923
10. J. Watstain Fd.Controleur 29-11-1923 s/d 28-06-1924
11. N.H. Holirust Controleur 28-06-1924 s/d 13-12-1926
12. W.Staanstra Tousaint Gezaghebber 13-12-1926 s/d 02-01-1930
13. H.A. Garritsea Gezaghebber 02-01-1930 s/d 11-02-1930
14. D.J.P Dala Gezaghebber 11-02-1930 s/d 28-11-1930
15. B. Bangert Gezaghebber 28-11-1930 s/d 20-03-1933
16. H.J. Koers Cd.Controleur 20-03-1933 s/d 17-10-1933
17. J.M.A Sondag Gezaghebber 17-10-1933 s/d 09-06-1936
18. Mr.G.Th.J.M. Beukers Controleur 09-06-1936 s/d 19-10-1936
19. M.D. Voors Controleur 19-10-1936 s/d 15-08-1938
20. J.R. Luth H.J.Zn Controleur 15-08-1938 s/d 29-03-1939
21. D.S. Bloanandael Wd.Controleur 29-03-1939 s/d 06-09-1939
22. J.R. Luth H.J.Zn Controleur 06-09-1939 s/d -
23. L.W.J. Bouhuys Controleur de kl - s/d 31-03-1942
24. Ota Tason Bunken Kanrikan Jaman Jepang/
25. Mizubuchi Sinzo Bunken Kanrikan
26. Irie Tasiyasu Kanrikan - s/d 29-08-1945
27. H. Verkuyl Dd.Controleur 14-01-1946 s/d 23-02-1946
28. B.G.Parya Adp.Controleur 23-02-1946 s/d 02-03-1946
29. J.Dijk Controleur 02-03-1945 s/d 05-09-1946
30. A.J.Serenda Controleur 05-09-1940 s/d 18-12-1947
31. H.F.H.Wollrabe Controleur 18-12-1947 s/d 12-04-1948
32. Mr.G.Dekker Controleur 12-04-1948 s/d 10-05-1948
33. Mr.I.Green Controleur 10-05-1948 s/d 10-09-1949
34. G.A.Nartwig Controleur 10-09-1949 s/d 23-03-1950
35. Basri Kiai Kepala 21-03-1950 s/d 01-05-1950
36. Basri Wedana 01-05-1950 s/d 27-09-1951
37. M.Saleh Wedana 27-09-1951 s/d 04-02-1952
38. Gusti Achmad Wedana 04-02-1952 s/d 31-07-1954
39. Abdul Muis Wedana 31-07-1954 s/d 14-10-1955
40. Rozani Wedana 14-10-1955 s/d 1958
41. C.Mihing Ahli Praja 1958 s/d 03-10-1959
42. C.Mihing Bupati 03-10-1959 s/d 22-03-1950
43. J.C.Rangkap Bupati 03-03-1960 s/d 03-02-1962
44. Drs. FAD Patianom Bupati 03-02-1962 s/d 03-02-1965
45. H.Agoes Iberahim Caretaker 1968 s/d 1969
46. Letkol Inf. H.M.Rafii Bupati 28-12-1969 s/d 1979
47. Letkol Czi H. Mas Soetarso Bupati 1979 s/d 1983
48. Drs. Donnis A.Singaraja Pj Bupati 1983 selama 6 bulan
49. Kol.Inf.N.Imam Maestoer Bupati 1984 s/d 1989
50. Letkol.Inf Darman Bupati 1989 s/d 1994
51. Kol.H.Jahja Al Idrus Bupati 13-10-1996 s/d 16-06-1998
52. Drs, Sukirman Pj.Bupati 16-06-1998 s/d 23-07-1998
53. Drs. Sukirman Pjs.Bupati 28-07-1998 s/d 25-10-1999
54. Matlim Alang Pjs.Bupati 25-10-1999 s/d 27-01-2000
55. H. Ir.Abdul Razak Bupati 27-01-2000 s/d 08-02-2005
56. Ir. H. A. Diran. Pjs. Bupati 28-02-2005 s/d 04-04-2005
57. Drs. Suchaimi Muda Pjs. Bupati 04-04-2005 s/d 03-08-2005
58 H. Ujang Iskandar, ST. Bupati 03-08-2005 s/d sekarang

Demikian semoga bermanfaat !!!!
Selamat Datang di Blog Aditya Sucipto

Terima kasih atas kunjungan anda ...

Semoga informasi yang saya hadirkan dapat menambah wawasan anda ...

Thanx